Ketidakjujuran politik bukan sekadar kecacatan moral, melainkan benih kehancuran republik. Bila kekuasaan diraih dengan dusta, maka negara menjelma panggung para penipu. Demokrasi dikutuk jadi tirani,dan rakyat sekadar figuran dalam drama yang tak mereka tulis. (red.)
Apakah politik harus jujur? Jika dijawab bahwa politik adalah siasat, anda akan memperoleh jawaban yang mengecewakan, sebab yang demikian akan menempatkan politik sebagai elemen perusak.
Adalah sangat berbahaya apabila hal seperti itu terinstitusionalisasi dalam diri partai politik. Ia akan mengabaikan etika dan tujuan etisnya sebagai partai. Partai akan menjadi penyembah pragmatis dengan menghalalkan segala cara terhadap kekuasaan. Sementara menyerahkan demokrasi dalam etos politik seperti itu, sama halnya menyerahkan agama kepada para pecundang: Demokrasi akan berubah menjadi alat tirani penipuan, dan negara terancam terperosok ke dalam kezaliman.
Sesungguhnya politik adalah mulia. Sebab tujuan politik adalah untuk menegakkan ketertiban, keadilan dan kebebasan melalui negara. Dalam agama, seperti dikatakan Imam Ghazali, menjadi politisi bahkan sama halnya menjalankan fardhu kifayah. Sementara itu kejujuran adalah prinsip kebaikan. Dalam kejujuran, atau orang yang jujur, dapat mengetahui apa yang adil dan sesuai hukum. Namun jika sebaliknya, yang terbentang di hadapannya adalah jalan kriminal.
Dalam praktek politik sehari-hari, hal itu mungkin tampak naif. Namun perlu digaris bawahi bahwa, bagi seorang politisi atau pemimpin, pemilihan umum adalah –baik untuk legislatif maupun eksekutif– prinsip demokrasi yang dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menerapkan cita-cita serta berbagai kepentingan khas dari para pemilih.
Steven Lukes (1977) menyebut hal demikian sebagai titik puncak dari pertimbangan yang panjang, mendalam dan jujur, atas masalah yang relevan. Anda tidak bisa mengubah hal itu sebagai transaksi jual-beli melalui money politics misalnya, sebab yang demikian berarti anda telah melakukan tindakan kriminal. Hak pilih adalah faktor aktif dalam demokrasi, yang esensinya tidak bisa ditukar dengan uang, sebab hak itu menjadi niscaya dalam bernegara melalui apa yang disebut “kepentingan publik”.
Kepentingan publik adalah prinsip dasar negara dalam melaksanakan tanggung jawab etisnya. Lalu apa kepentingan publik? Kepentingan atau kehendak publik adalah resultante dari kepentingan khas bagi setiap pribadi warga negara, yang harus dibedakan dengan kepentingan mayoritas.
Dari visi inilah negara itu disebut Republik dimana pada dirinya, sebagai entitas metafisik, warga negara menyerahkan kedaulatannya. Dengan demikian negara adalah tuan dan sekaligus hamba bagi rakyatnya.
Karena itu negara tidak boleh melakukan kejahatan pada warga negara dan membatasi partisipasinya. Di sisi lain, negara pada dirinya terdapat kewajiban inheren untuk jujur kepada rakyat. Ini prinsip fitrahnya, sehingga jika negara tidak melaksanakan tanggung jawab itu, negara akan kehilangan hak etisnya sebagai tuan yang harus dipatuhi.
Ini artinya negara juga harus otonom dari kekuatan-kekuatan seperti oligarki misalnya, atau kekuatan-kekuatan ideologis tertentu. Memang dalam prakteknya hal itu mungkin mustahil adanya. Namun negara bukanlah entitas yang tidak memiliki “bumi” tempat berpijak, yang menjadi tempat berdiri dari kemungkinan gangguannya. Negara adalah idea moral rasional tertinggi sebagai manifestasi dari kedaulatan.
Karena itu berpegang teguh pada prinsip-prinsip konstitusionalisme adalah cara kokoh untuk menjaga otonominya. Namun semua itu tidak berarti apa-apa jika para penyelenggaranya tidak memiliki integritas moral dan intelektual. Prasyarat ini penting sebab negara sebagai induk kekuasaan dan tempat uang, mempunyai daya pesona yang menggairahkan bagi para pecundang pemburu rente.
Reformasi 1998 adalah gerakan massa yang dihidupkan oleh cita-cita demokrasi dan rasa benci terhadap privilese-privilese bawaan. Karena itu, fenomena berkembangannya ketidakjujuran intelektual terhadap ketidakjujuran politik yang kini kian merebak, adalah masalah serius yang menjadi ancaman.
Di sinilah letak penting peran media massa, untuk menjaga kejujuran politik para penyelenggara negara, dan sekaligus untuk menghapuskan suhulatul hijab, yaitu semua perintang komunikasi dan tuntutan politik, sehingga negara tetap menjadi tuan dan hamba bagi rakyatnya.