
Bali, pulau yang dahulu dielu-elukan sebagai taman surga, kini terjerat oleh nafsu pembangunan yang tak mengenal tepi. Sawah yang semula hamparan hijau telah tergadai, berganti vila dan kafe bagi para pengelana. Banjir yang datang bukan sekadar kiriman hujan, melainkan amsal tentang kuasa yang predatoris, di mana adat, negara, dan modal bertaut dalam lingkar alih fungsi lahan. (red.)
Siapa sangka hujan tiada henti sejak 9 September di Pulau Dewata berubah jadi malapetaka? Banjir bandang datang bak air bah, tanpa peringatan, menyapu Kota Denpasar hingga sejumlah kabupaten, yakni Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Klungkung, dan Karangasem.
Penyebabnya bukan semata curah hujan tinggi, tapi juga volume air yang membludak dari saluran drainase serta luapan air dari aliran sungai yang semakin menyempit. Sebab-sebab ini menjadi kausalitas Bali yang terjebak dalam kondisi overtourism. Jelas hal ini bukanlah bencana alam semata. Banjir Bali merupakan wajah lain dari problem kekuasaan di level lokal.

Banjir Bali menampar kesadaran kita bahwa alam tidak bisa dibungkam dengan deret angka pembangunan semata. Tanpa disadari, komodifikasi budaya sebagai bahan bakar dari ekspansi pariwisata di Pulau Seribu Pura lambat laun mencaplok lahan-lahan yang bisa digarap untuk pembangunan penyokong industri pariwisata Bali.
Coba bayangkan bagaimana wilayah Canggu belasan tahun lalu, asri dan tenangnya tak dapat kita temui lagi kini. Sawah-sawah yang terhampar secara drastis beralih fungsi menjadi villa, kafe, serta restoran. Walhi Bali mencatat dalam kurun waktu empat tahun saja (2014-2018), jumlah sawah di seluruh Pulau Bali menyusut dari angka 80.000-an hektar ke 69.000-an hektar. Spesifik di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yang merupakan wilayah overtourism, lahan sawah yang semula berjumlah 7.000-an hektar menyusut ke angka 3.000-an hektar dalam dua puluh tahun terakhir (2000-2020).
Alih fungsi lahan jelas menjadi faktor penentu banjir yang oleh masyarakat Bali dikenang sebagai yang terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Hilangnya ruang hijau dan persawahan menghapus daya tampung alamiyang semsetinya mengalirkan derasnya hujan. Namun, pemerintah daerah tampak abai dengan kondisi pembangunan yang kian hari kian sukar dikendalikan. Selama pundi-pundi masih dapat dikumpulkan, urusan kerusakan alam bisa dikesampingkan.

Upaya pembangunan berkelanjutan di Bali yang diinisiasi oleh pemerintah –baik pusat maupun daerah, akan sepenuhnya berhadapan dengan praktik-praktik predatoris. Pusaran kekuasaan yang saling memanfaatkan satu sama lain, bertautan dan berkelindan. Negara menjelma hingga ke entitas yang paling lekat dengan keseharian masyarakat Bali, desa adat, yang dalam praktik alih fungsi lahan juga ikut berperan. Corak kekuasaan hingga di level lokal sejatinya tidak banyak berubah bahkan pada era pasca-reformasi ini. Hanya komponen aktor-aktor yang berada dalam pusaran kekuasaan itulah yang menjadi semakin beragam.
Praktik alih fungsi lahan di Bali menjadi santapan empuk bagi pihak-pihak yang meraup keuntungan di setiap prosesnya. Entitas desa adat bahkan tak ingin larut dalam romantisme ketika bersinggungan dengan proyek alih fungsi lahan. Hal ini tercermin dalam kasus pemerasan yang dilakukan oleh Kepala Desa Adat Berawa, I Ketut Riana, kepada calon investor PT. Bali Grace Evata. Kepala Desa Adat Berawa divonis empat tahun penjara karena melakukan pemerasan sebesar Rp10 miliar kepada calon investor dan hal tersebut tidak diketahui oleh pemangku desa adat lainnya. Posisi desa adat terbilang sentral dalam praktik alih fungsi lahan ini. Calon investor harus mendapat izin dari level pemerintahan adat hingga ke level yang lebih tinggi (pemerintah kabupaten atau mungkin pemerintah provinsi) agar dapat melakukan pembangunan di wilayah tersebut. Melihat Kepala Desa Adat Berawa yang menjanjikan lancarnya urusan perizinan pembangunan bagi calon investor menandakan adanya praktik predatoris yang terjalin dalam pusaran kekuasaan di Bali.
Corak kekuasaan lokal Bali berimbas pada mudahnya melakukan proses alih fungsi lahan serta pembangunan di wilayah episentrum pariwisata. Ini terlihat dalam pembangunan Parq Ubud yang pada 2024 lalu ditutup paksa oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar. Penutupan kawasan Parq Ubud yang lebih dikenal dengan sebutan “Kampung Rusia” ini dilakukan karena dokumen perizinan yang tidak sah dan pelanggaran peraturan terkait pembangunan yang dilakukan di atas lahan yang dilindungi. Tak hanya penutupan paksa saja, investor divonis dua bulan penjara serta denda Rp200 juta. Problem selanjutnya ialah kawasan ini dimiliki oleh investor asing yang peruntukannya juga terkesan eksklusif bagi warga negara Rusia saja. Kasus Parq Ubud semakin menunjukkan baik pemerintah provinsi hingga pemerintah desa terkesan cuci tangan atas pembangunan kawasan yang sudah terlanjur terjadi.

Kesimpulan
Dua kasus yang ramai diperbincangkan di atas semakin menyadarkan kita betapa masif dan kompleksnya praktik alih fungsi lahan yang terjadi di Bali. Pasca banjir besar itu, Gubernur Bali, I Wayan Koster, merespon masukan dari Menteri Lingkungan Hidup untuk segera menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai larangan alih fungsi lahan hingga ke level pemerintah kota/kabupaten. Sikap Koster kontradiktif dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa banjir Bali bukanlah implikasi dari praktik alih fungsi lahan di wilayah-wilayah terdampak banjir. Koster menegasikan argumen pembangunan yang semakin sporadis sebagai alasan terjadinya banjir di wilayah-wilayah terdampak tersebut. Koster dengan teguh mengatakan alih fungsi lahan yang masif terjadi juga berjasa dalam meningkatkan nilai ekonomi di wilayah-wilayah tersebut. Alih-alih memberi tanggapan yang lebih kritis dalam merespon masifnya praktik alih fungsi lahan, argumen Koster sebagai representasi dari negara di level lokal menawarkan logika ekstraktivisme baru berwajah pariwisata.
Hal ini menunjukkan kekuasaan lokal Bali di bawah rezim Koster bercorak predatoris. Sikap Koster mengisyaratkan adanya kontestasi ruang-ruang pariwisata dalam relasi kekuasaan yang eksis. Entitas negara yang berkelindan dengan entitas adat serta para pemilik modal berada pada gerbong yang sama, yang membentuk mekanisme eksploitasi melalui skema alih fungsi lahan di wilayah-wilayah pariwisata.