
“In a time of deceit telling the truth is a revolutionary act.” – George Orwell (red.)
“Ini ada yang main…Dari luar, dari luar”
Kalimat tersebut dilontarkan oleh mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono saat menanggapi aksi unjuk rasa sepanjang 25 hingga 28 Agustus. Baginya, aksi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia itu didalangi oleh pihak asing.
Nyatanya dalam tujuh hari terakhir, sampai 7 September lalu narasi ‘antek asing’ masif bertebaran di media sosial. Narasi tersebut dituduhkan kepada media independen dan berbagai organisasi masyarakat sipil.
Fenomena masifnya narasi ‘antek asing’, terutama di dunia digital bukan kali ini saja terjadi. Jika diperhatikan, narasi ini banyak berdengung sejak era pemerintahan Prabowo.
Pada peringatan Hari Pancasila beberapa waktu lalu, Prabowo dalam pidatonya menyebut lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan ‘antek asing’. Tendensinya agar warga berhati-hati terhadap organisasi, media, maupun komunitas yang mengkritik pemerintahan, khususnya.
Bukan sekali saja. Prabowo kerap melontarkan wacana anti asing lewat pidato, kampanye, maupun wawancara sejak kiprahnya dalam Pilpres 2014. Hal ini membuat sosoknya lekat dengan citra nasionalis.
Terlepas dari citranya sebagai sosok nasionalis, penggunaan narasi ini nyatanya jadi senjata untuk menyerang lawan politiknya. Bahkan, sekarang ia gunakan kepada pihak-pihak yang kritis terhadapnya.
Saat pertemuannya dengan jurnalis dari tujuh media di Hambalang April lalu (6/4), ia pakai narasi ini untuk menanggapi demonstrasi yang marak di awal pemerintahannya, pecatan Mayor Jenderal itu menuduh adanya kekuatan di balik unjuk rasa yang terjadi.
Padahal demonstrasi besar yang tercermin dalam narasi #TolakRUUTNI, atau sebelumnya seperti #IndonesiaGelap serta #PeringatanDarurat adalah wujud kesadaran kolektif rakyat terhadap erosi ekonomi, demokrasi, hingga kesejahteraan hidup. Lantas, mengapa dituduh antek asing?
Dalam pengantar bukunya berjudul The New Imperialism (2003), David Harvey menyorot Amerika Serikat pada awal 2000-an yang kerap mengatasi problem dalam negeri dengan merekayasa ancaman-ancaman asing. Kerusuhan, kriminalitas yang melibatkan anak muda, dan kasus-kasus korupsi politik maupun korporasi memberi ruang bagi rezim populis (saat itu George W. Bush) untuk menghadirkan tendensi otoriter dengan menegaskan solidaritas, ketertiban, dan stabilitas nasional.
Cara politik seperti ini memang kerap menumbuhkan solidaritas sosial dalam negeri. Namun tetap saja ia hanya retorika kosong, tidak berdasar pada nalar. Alih-alih menyelesaikan akar masalah, rezim justru mengaburkan substansi persoalan dengan solek nasionalismenya.
Apalagi, penyebaran narasi ‘antek asing’ menjadi semakin masif dan ampuh berkat pengerahan buzzer di media sosial. Pada akhirnya, sentimentalisme terhadap kekuatan dari luar (yang sepenuhnya belum terbukti) berpotensi mempengaruhi opini publik.
Sepanjang 18 sampai 21 Maret lalu, narasi ‘antek asing’ memang sempat masif di media sosial, mencap gerakan menolak Revisi Undang-undang TNI sebagai antek asing yang menginginkan disintegrasi bangsa. Diketahui, aktor yang bertanggung jawab atas penyebaran narasi tersebut banyak terafiliasi dengan militer.
Sudah sejak lama, sosok yang secara masif mendengungkan agenda politik penguasa ini kerap membanjiri ruang digital seperti media sosial. Wijayanto dan Ward Berenschot (2024) menemukan keterlibatan pasukan siber seperti buzzer dalam debat Twitter tentang pemilihan presiden 2019, revisi UU KPK 2019, dan Omnibus Law 2020 telah memanipulasi opini publik.
Caranya, dengan menyebarkan konten secara masif sehingga menjadi trending topic. Dengan begitu, para pendengung ini jadi mudah menumbangkan dan mengontrol wacana publik, sehingga menciptakan legitimasi palsu terhadap kebijakan maupun pihak yang sedang berkontestasi.
Masifnya dominasi buzzer di media sosial juga kerap menciptakan polarisasi dengan logika hitam-putih. Kalau tidak sependapat, maka kamu bukan ”orang baik”, ”pembela NKRI”, dan ”cinta agama”.
Tak jarang pula, perilaku pasukan siber ini menjelma jadi tindakan kriminal. Seperti dialami seorang peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), yang data pribadinya disebar oleh sebuah akun Instagram setelah mengkritik Joko Widodo.
Pada akhirnya, terjadi kesenjangan karena memarjinalkan mereka yang bersikap kritis. Para buzzer telah merusak debat publik dan menghambat kebebasan berekspresi. Maka, ia bisa menjadi parasit dalam demokrasi.
Apa yang dilakukan oleh rezim Prabowo tak jauh beda. Pernyataannya yang populis, kemudian digalakkan oleh para pendengung akan membahayakan demokrasi. Sebab, melainkan juga melalui intimidasi terhadap yang berbeda pendapat.

Bagi Jurgen Habermas, demokrasi hanya dapat tercipta jika diskursus yang terjadi di ruang publik didasari oleh rasionalitas dan kepentingan publik. Jika ruang publik dipenuhi oleh sentimen, manipulasi opini publik, dan upaya memecah integrasi sosial, maka ia telah terdistorsi.
Faktor menentukan evolusi sosial dari perkembangan masyarakat (menuju) modern dengan adanya wilayah sosial yang ia sebut sebagai ruang publik. Sifat publik berarti menyangkut kepentingan umum, didasari pertimbangan rasional dan kritis.
Ruang publik tercipta dari struktur komunikasi yang mendorong proses belajar sosial. Komunikasi ini sifatnya diskursif, artinya dialog saling bantah tetapi membangun. Syaratnya, komunikasi itu mesti bebas tanpa hambatan, paksaan, maupun tekanan.
Dalam konteks bernegara, ruang publik memiliki fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Maka, ruang publik jadi ruh demokrasi.
Tanda-tanda ruang publik yang terdistorsi, bagi Habermas setidaknya terlihat ketika kekuasaan mendominasi percakapan di ruang publik dengan manipulasi. Hal ini akan mengaburkan realitas sebenarnya, dengan begitu mengaburkan kebenaran.
Apa yang dilakukan Prabowo adalah salah satu contohnya. Berkat narasi yang terus disebar dan diulang-ulang oleh kekuatan buzzer, entitas “asing” yang sebatas hantu belaka, seakan-akan jadi nyata. Bahkan, meneror mereka yang bersikap kritis.
Padahal, diskursus mengenai isu publik sangat penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Lindungi kebebasan berpendapat. Rawat aktor-aktor yang bisa bebas berkomunikasi. LSM adalah salah satunya, jangan malah dituduh sebagai musuh.
Demokrasi mesti diciptakan. Sulit? Tidak. Setidaknya protes dan perlawanan mesti jadi budaya, bukan agenda antek asing.