Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)

Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)
Ilustrasi teori atom modern, teori atom mekanika kuantum gunsksn canva.com. (Foto: Kompas)

Di negeri ini, waktu tidak hanya mengalir, ia bergetar. Setiap seratus tahun sekali, getar itu kembali muncul, seolah ada denyut tersembunyi di bawah tanah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Getaran yang sama terus bergema, wujudnya berupa kegelisahan kaum muda yang ingin mengubah nasib bangsanya.


Scholariumlp3es.com

Pada suatu masa, mereka mengangkat pedang, kadang pena, kadang hanya kata-kata yang dikirimkan ke ruang maya. Namun intinya tetap sama: sebuah keinsyafan kolektif bahwa dunia seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus berjalan tanpa arah.

Antara tahun 1820 dan 1830, di Minangkabau dan Jawa, kegelisahan itu menjelma perang. Antara 1920 dan 1930, ia menjadi organisasi dan manifesto. Kini, menjelang 2030, getaran itu terasa kembali, tidak dalam bentuk teriakan atau tembakan, tetapi dalam kebingungan yang menuntut makna baru. Lantas, bagaimana penjelasan sejarah yang berulang ini?

Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)Infografis Nasa & Misteri Jejak Hidup di mars. (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Nasa & Misteri Jejak Hidup di mars. (Foto: Instagram @scholariumco)

Misteri Kuantum Sejarah

Mungkin sejarah bekerja seperti dunia kuantum: bukan garis lurus, melainkan lapisan kemungkinan yang tumpang tindih. Dalam dunia atom, partikel bisa berada di dua tempat sekaligus—sebuah keadaan yang disebut superposisi—dan hanya ketika diamati ia runtuh menjadi satu kenyataan.

Demikian pula sejarah Indonesia, ia seakan tersusun dari berlapis-lapis kemungkinan yang terus bergetar di bawah kesadaran kolektif. Setiap generasi muda adalah pengamat sosial yang, dengan tindakannya, membuat fungsi gelombang sejarah itu runtuh menjadi kenyataan tertentu.

Dalam bahasa fisika, keruntuhan itu disebut collapse; dalam bahasa sosial, ia menjelma revolusi, perlawanan, atau pembaruan. Sebagaimana di dunia kuantum pengamat tak pernah netral, demikian pula dalam sejarah, manusia yang memandang realitas justru turut menciptakan realitas itu.

Di sinilah daya pesona gagasan seorang filsuf, kritikus budaya, dan intelektual publik yang berasal dari Slovenia, Slavoj Žižek bekerja. Ia mempromosikan bahwa apa yang disebut “kenyataan sosial” bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan hasil dari superposisi ide-ide, hasrat, dan fantasi kolektif yang pada momen tertentu runtuh menjadi satu bentuk yang kita sebut “sejarah”.

Sedikit memberikan kontkes, Albert Einstein pernah menyebut spukhafte Fernwirkung—aksi menyeramkan dari kejauhan—sebuah istilah yang lahir dari rasa enggan menerima kenyataan bahwa dua partikel bisa saling memengaruhi meski terpisah ribuan kilometer.

Einstein, sang rasionalis agung, percaya bahwa dunia tunduk pada hukum lokalitas: sesuatu hanya bisa berubah karena disentuh oleh yang dekat. Namun mekanika kuantum menunjukkan kenyataan yang lebih ganjil. Dua elektron yang pernah bersinggungan akan selamanya terbelit dalam jaringan halus realitas; jika satu diukur, yang lain merespons secara instan, seolah jarak tidak pernah ada.

Dalam bahasa fisika, ini disebut entanglement; dalam bahasa manusia, mungkin inilah yang kita sebut sejarah. Sebab peristiwa sosial pun, seperti dua partikel yang terpisah jauh, kerap saling memengaruhi tanpa kausalitas langsung, semacam gema ide, luka, dan harapan yang melintasi waktu dan ruang.

Žižek membaca fenomena ini sebagai keterbelitan ideologis: hubungan laten antarperistiwa yang hidup di bawah kesadaran kolektif. Revolusi di satu tempat dapat membangunkan hasrat yang serupa di tempat lain, sebagaimana kegelisahan seabad lalu dapat terpantul lagi dalam bentuk baru di masa kini.

Dunia sosial, dalam pengertian ini, bekerja seperti sistem kuantum besar: setiap tindakan manusia, sekecil apa pun, menyisakan resonansi tak terlihat yang terus mencari pasangan di dimensi sejarah berikutnya.

Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)Infografis Nasa & Misteri Jejak Hidup di mars. (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Nasa & Misteri Jejak Hidup di mars. (Foto: Instagram @scholariumco)

Looping Seratus Tahun?

Sekitar dua abad lalu, di Ranah Minang dan di Jawa, dua peristiwa besar bergetar hampir bersamaan, Perang Padri dan Perang Diponegoro. Keduanya tidak saling mengenal, tidak saling berkorespondensi, tetapi seolah terhubung oleh semesta yang sama: keresahan moral terhadap dunia yang telah kehilangan arah.

Di Minangkabau, kaum muda yang pulang dari Mekkah membawa semangat tajdid, pembaruan iman yang menolak kebiasaan lama dan kekuasaan kolonial yang mengangkangi harga diri mereka. Di Jawa, seorang pangeran yang terusir dari garis takhta menafsirkan kembali nasib bangsanya dalam cahaya mistik: kolonialisme baginya bukan hanya persoalan penjajahan ekonomi, tetapi pelanggaran metafisik terhadap tatanan kosmos.

Dua getaran itu—Padri dan Diponegoro—adalah dua partikel sejarah yang pernah bersinggungan dalam medan kesadaran bangsa yang sama. Mereka mungkin dipisahkan oleh laut dan bahasa, namun keduanya menunjukkan sifat entanglement sosial: peristiwa yang terpisah tetapi beresonansi, seperti dua elektron yang bergetar pada frekuensi yang sama.

Masing-masing adalah bentuk awal dari superposisi moral: antara iman dan kekuasaan, antara tradisi dan perubahan, antara takdir dan perlawanan. Dari sinilah gelombang pertama kesadaran kebangsaan memancar, bukan dalam bentuk politik, tetapi dalam getar keinsafan bahwa manusia bisa berkata tidak pada tatanan yang menindasnya.

Seratus tahun setelah suara senjata di Minangkabau dan doa peperangan di medan Jawa mereda, gema itu muncul kembali. Generasi muda yang lahir dari sekolah-sekolah Belanda dan pesantren Nusantara mulai menatap dunia dengan dua mata: satu menatap masa depan yang dijanjikan modernitas, satu lagi menatap luka kolonial yang tak kunjung sembuh.

Mereka sebagian adalah penulis, organisator, dan jurnalis; medan pertempuran mereka tetap sama, yaitu kemerdekaan. Sebut saja perkumpulan kaum muda seperti Jong Java hingga Jong Sumatranen Bond, lalu penerbit seperti Revue Politiek hingga Sin Po, dan juga tidak luput perlu kita sebut, yaitu menjamurnya kegiatan dalam bentuk rapat-rapat kecil di Batavia hingga Kongres Pemuda 1928, kaum muda mencoba mengukur arah putaran sejarah dan dalam tindakan itu, mereka sebenarnya sedang melakukan apa yang dalam mekanika kuantum disebut pengamatan.

Sebab dengan menulis, berpidato, dan membentuk organisasi, mereka memaksa fungsi gelombang sejarah—yang semula hanya berupa potensi, hasrat, dan wacana—runtuh menjadi kenyataan sosial baru, yaitu Indonesia.

Di tangan mereka, “bahasa” menjadi percobaan paling berani terhadap realitas: satu kata yang mampu menampung keragaman dan mengubahnya menjadi nama diri. Seperti elektron yang runtuh dari superposisi menjadi partikel tertentu, sejarah pun mengambil bentuknya melalui keputusan kolektif kaum muda: bahwa bangsa ini ada karena mereka mengamatinya bersama.

Pada akhirnya, setiap gelombang harus runtuh menjadi kenyataan. Dan pada tahun 1945, seluruh superposisi dua abad perjuangan itu runtuh ke dalam satu bentuk yang tak terelakkan: kemerdekaan. Dalam istilah kuantum, itulah collapse terbesar dalam sejarah bangsa ini; dalam istilah sosial, ia adalah saat ketika potensi menjadi aktual, ketika cita-cita menjelma tindakan.

Tidak ada yang benar-benar baru pada 17 Agustus itu; yang lahir hanyalah bentuk yang akhirnya tampak dari sesuatu yang sejak lama bergetar di bawah tanah kesadaran Nusantara. Di masa itu, Sukarno dan Hatta hanyalah dua pengamat yang menyaksikan fungsi gelombang bangsa runtuh di hadapan mereka—dan sekaligus turut menyebabkan keruntuhan itu terjadi.

Kemerdekaan Indonesia bukan peristiwa yang “terjadi”, melainkan peristiwa yang dihadirkan oleh tindakan bersama: oleh kata yang diucapkan, oleh keyakinan yang dipelihara, oleh resonansi panjang yang menghubungkan perang, pamflet, dan doa menjadi satu simpul sejarah. Namun bahkan pada momen runtuh itu, semesta tidak berhenti bergetar; sisa-sisa gelombang lama tetap hidup, menunggu saatnya memancar lagi, mungkin seabad kemudian, dengan bentuk yang belum kita kenal.

Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)Infografis Nasa & Misteri Jejak Hidup di mars. (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Nasa & Misteri Jejak Hidup di mars. (Foto: Instagram @scholariumco)

Cohort Generasi Muda(h)-muda(han)

Dan kini, seratus tahun setelah gelombang kedua itu, gema sejarah kembali terdengar, namun samar, terdistorsi oleh dengung mesin pencari, oleh layar-layar yang berpendar dalam genggaman. Kita hidup di masa di mana sejarah, yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan kata, kini direduksi menjadi story berdurasi tiga puluh detik.

Sebuah cohort generasi yang merubah semangat pendahulunya yang senantiasa dalam tindakan selalu ingin membuat sejarah (baca: history), kini direduksi hanya menjadi “story” pada Instagram. Yaps, “history” berubah jadi “story”. Generasi muda ini tampak ingin membuatnya menjadi mudah. Apakah benar demikian?

Generasi muda yang dulu menggerakkan bangsa dengan manifesto kini menulis di ruang yang sama sekali berbeda: linimasa digital, tempat narasi bersaing dengan algoritma. Mereka disebut generasi stroberi—mudah retak, manis di luar, rapuh di dalam—sebuah mitos yang lahir dari pandangan generasi sebelumnya yang lupa bahwa kerapuhan juga bisa menjadi bentuk lain dari kepekaan.

Namun mitos itu perlu dilawan, bukan dengan nostalgia masa lalu, melainkan dengan kesadaran baru: bahwa dunia digital bukan ruang kosong, melainkan medan simbolik yang menentukan bagaimana realitas sosial dikonstruksi.

Di sana cinta diterjemahkan menjadi emotikon, perhatian menjadi like, dan solidaritas menjadi share. Platform bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi, melainkan sistem yang mengatur cara kita merasakan.

Jika dahulu kolonialisme bekerja lewat senjata dan hukum, kini kekuasaan bekerja melalui simbol yang diakumulasi dalam jaringan digital. Kaum muda terperangkap dalam superposisi baru: antara kebebasan dan ketergantungan, antara ekspresi dan pengawasan.

Dan mungkin, sebagaimana dua partikel yang pernah terhubung dalam keterbelitan kuantum, mereka masih membawa resonansi dari masa lalu, hasrat untuk membebaskan diri dari sistem yang membentuknya.

Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h) Reels monolog (Foto: Instagram @scholariumco)
Reels monolog (Foto: Instagram @scholariumco)

Keinsyafan Kuantum Harus Berkobar

Mungkin inilah saatnya kita menyebut zaman ini bukan sekedar era informasi, melainkan era keinsyafan kuantum, saat manusia, khususnya kaum muda, menyadari bahwa setiap tindakannya, sekecil apa pun, adalah bagian dari jaringan resonansi yang lebih luas.

Di tengah arus simbol dan algoritma, keinsyafan ini menuntut satu hal, yaitu kesadaran bahwa kita bukan hanya pengguna dunia, tetapi juga pengamat yang turut membentuknya. Coba kita ingat sejenak, bagaimana perubahan kecil itu terjadi tanpa kita sadari. Dahulu, perilaku digital kita bertumpu pada pencarian (browsing); kini, ia bergeser menjadi scrolling. Begitu cepat transisi perubahan itu berlangsung.

Sebagaimana dalam mekanika kuantum realitas muncul karena diamati, dalam kehidupan sosial pun masa depan terbentuk karena diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika generasi terdahulu membentuk bangsa melalui perang dan kata, maka generasi kini ditantang untuk membentuk ulang makna melalui perhatian yang jernih, bukan sekedar scrolling.

Kita tak bisa lagi bersembunyi di balik mitos “netralitas digital” atau kenyamanan pasif sebagai konsumen simbol. Dunia ini sedang menunggu momen runtuh berikutnya, sebuah collapse besar yang akan menentukan wajah kemanusiaan abad ini.

Dan hanya mereka yang memiliki keinsyafan kuantum, mereka yang sadar bahwa sejarah dan dirinya adalah dua partikel dalam keterbelitan yang sama, yang dapat memicu keruntuhan itu menuju arah yang bermakna: bukan hanya soal kebaruan, tetapi kebangkitan.


Kebijakan Purbaya dan Napas Baru Ekonomi Tembakau Madura | KATA KUNCI LP3ES

Author

Pemimpin adalah yang menderita

You might also like
Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik Simbolik

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik Simbolik

Ekstraksi Nilai Lebih dalam Ekonomi Mikro: Perspektif Marxis

Ekstraksi Nilai Lebih dalam Ekonomi Mikro: Perspektif Marxis

Membongkar Identitas “Koboy” Purbaya

Membongkar Identitas “Koboy” Purbaya

Deepfake Porn Di Era Etika Digital

Deepfake Porn Di Era Etika Digital

Corak Sentralisasi Pemerintahan Prabowo

Corak Sentralisasi Pemerintahan Prabowo

Dengung Hantu Asing yang Merusak Demokrasi

Dengung Hantu Asing yang Merusak Demokrasi