Label Bisnis “REGULASI”

Label Bisnis “REGULASI”

Jika kita mendengar kata bisnis yang terbayang di kepala kita adalah sebuah usaha yang dilakoni untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Banyak yang harus dilakukan dalam melaksanakan bisnis, seperti pemasaran produk, pembukuan, pengelolaan keuangan, dan hal-hal terkait keberlanjutan suatu usaha. Bisnis yang populer dijalankan biasanya bisnis pertanian, bisnis perikanan, bisnis peternakan, bisnis jasa, bisnis transportasi dan sebagainya. Namun jika kita mendengar “Bisnis Regulasi”, kira-kira apa yang terbayang dalam benak pikiran kita? Mungkin akan sulit dibayangkan, sebab dua kata tersebut tidak cocok untuk disatukan sehingga kita sulit untuk mendefinisikannya.

Kata bisnis berasal dari bahasa Inggris, business, yang berasal dari kata dasar busy yang berarti “sibuk”. Disisi lain Regulasi adalah seperangkat aturan atau kebijakan yang dibuat untuk mengatur perilaku, tindakan, atau sistem tertentu. Mungkin kita akan mudah mendefinisikan jika kata regulasi berada di depan menjadi “Regulasi Bisnis”. Singkatnya, seperangkat aturan hukum yang mengatur kegiatan dalam bisnis. Seperti Regulasi perlindungan konsumen, Regulasi perlindungan merek, Regulasi larangan praktik monopoli bisnis dan lain-lain.

Jalan Terjal Regulasi

Berbicara mengenai regulasi kaitannnya dalam pembentukannya memerlukan waktu yang panjang dan berliku-liku. Sebab harus mewujudkan kebijakan publik yang dapat membawa kesejahteraan rakyat. Layaknya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk diundangkan sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menginisiasinya pada 2012 lalu. UU tersebut sangat urgen sebab untuk mencegah dan menindak terjadinya kekerasan seksual yang terus bermunculan dengan jumlah kasus yang meningkat setiap tahun.

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sudah diatur secara jelas dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Di dalamnya mengatur poin-pon kaitannya dalam proses pembentukan produk hukum seperti: Pertama adanya kejelasan tujuan, kedua adanya kesesuaian dengan hirearki, ketiga adanya kedayagunaan dan kehasilgunaan, keempat adanya kejelasan rumusan, kelima adanya keterbukaan dalam pembentukan. Untuk membuat produk hukum tersebut, tidak hanya berlandaskan pada kemauan politik nasional (political will), tetapi juga pada tindakan politik nasional (political action). Sebab keinginan tanpa tindakan hanyalah fatamorgana, sebuah khayalan yang tidak dapat tercapai. Termasuk hukum harus mampu bertindak (law in the action) secara tegas dalam kehidupan warga negara.

Regulasi lahir dari sebuah proses politik yang berjalan di parlemen. Namun ketika sebuah regulasi sudah lahir, politik sudah tidak ada artinya lagi. Sehingga berfungsilah asas Equality Before The Law, bahwa siapapun sama dan setara di hadapan hukum, termasuk anggota dewan yang membuat regulasi. Artinya siapapun yang melanggar delik baik dari lapisan yang paling bawah sampai paling atas harus di proses secara hukum. Namun apakah semata-mata selesai sampai disitu? Tentu tidak. Sebuah regulasi juga harus mampu menciptakan keadilan dan kebermanfaatan. Sebab itu merupakan karomah atau kemuliaan dari sebuah regulasi. Setiap regulasi mempunyai marwah yang harus selalu dijaga bersama-sama.

Bisnis “Regulasi”

Namun kadangkala, kepentingan politik dan pribadi dapat mengalahkan hukum. Masih membekas dibenak kita ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 3 hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan 1 pengacara sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi vonis bebas ke Gregorius Ronald Tannur dalam kasus dugaan pembunuhan Dini Sera. Sulit membayangkan sebelumnya, bahwa seorang Hakim yang mendapatkan julukan “wakil Tuhan” di dunia justru berbuat ketidakadilan dan ketidakjujuran. Hakim yang mempunyai kedudukan terhormat dan mulia dibandingkan dengan profesi atau jabatan lain dengan harapan dapat membawa keadilan tidak mampu berkutik dihadapan politik. Politik sering disebut the art of possible, artinya sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, begitu juga sebaliknya.

Bagaimana mungkin regulasi yang didalamnya memuat tujuan yang jelas dan spesifik berubah menjadi politik, menghasilkan yang mungkin menjadi tidak mungkin. Padahal hukum sendiri disebut seni menginterpretasi (the art of interpretation) dari law in the book ke law in the action. Dalam rekonstruksi kasus Ronald Tannur dan bukti dari tim forensik sudah menjelaskan secara gamblang luka yang dialami oleh korban sebelum meninggal dunia dan pelaku merupakan kekasihnya sendiri yaitu Ronald Tannur. Kasus suap kepada Hakim PN Surabaya tersebut menjadi semacam fenomena gunung es yang muncul dipermukaan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya hasil putusan pengadilan terutama tingkat pertama yang menciderai hati masyarakat yang mencari keadilan.

Krisis integritas dan krisis kesadaran identitas oleh penegak hukum berimplikasi pada adanya kongkalikong dengan para pelaku kejahatan. Hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT), Kejagung atas kasus suap Hakim yang bebaskan Ronald Tannur mendapatkan uang dengan jumlah total Rp 20,05 miliar. Bahkan putusan terbaru yang membuat tercengang masyarakat adalah putusan Harvey Moeis yang hanya divonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Padahal kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah oleh Harvey Moeis tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Namun sampai tulisan ini dibuat, putusan tersebut masih didalami lebih lanjut oleh Komisi Yudisial (KY) selaku Lembaga pengawas terhadap kekuasaan kehakiman.

Terlintas di kepala saya, teringat serial yang pernah saya tonton dengan judul “Trafficked with Mariana van Zeller”, sebuah serial documenter orisinal yang mengeksplorasi cara kerja internal yang rumit dan berbahaya dari dunia bawah tanah global, pasar gelap dan informal. Tepatnya di Jamaika, dimana penipuan melalui telfon dengan iming-iming mendapatkan uang atau mobil menjadi kejahatan utama dibandingkan dengan narkoban dan sejenisnya. Intinya, para pelaku penipuan tersebut melabeli perbuatan mereka sebagai sebuah “Permainan”. “Permainan” untuk menghasilkan banyak korban dengan begitu mereka mendapatkan uang lebih banyak.

Bagi orang normal, jelas menganggap perbuatan mereka sebagai kejahatan. Karena merampas harta orang lain walaupun dengan pendekatan yang halus (soft). Saya menduga, para penegak hukum yang menerima suap melabeli perbuatan mereka dengan sebutan “Bisnis Regulasi”. Artinya, semakin ringan pelaku kejahatan mendapatkan hukuman, maka penegak hukum akan mendapatkan uang lebih banyak. Produk yang dijual adalah hukuman, pemasarannya sembunyi-sembunyi, uangnya di timbun dalam rumah agar lolos dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Eks Pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar mungkin cukup menjadi bukti seorang yang “sukses” melakoni “Bisnis Regulasi”. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga.

Jika kita kaitkan dengan teori hukum pembangunan yang digagas oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, bahwasanya hukum itu selalu bergerak maju, hukum itu progresif selalu mengikuti perkembangan zaman. Dalam konteks sekarang dimana kasus korupsi merebak sangat luas diberbagai sektor, baik Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Pemilu dan sebagainya. Hukuman mati koruptor seharusnya menjadi sebuah harapan dan cita-cita. Seperti halnya keberadaan harapan di dalam kotak Pandora. Sehingga adanya keinginan untuk berada dalam suasana yang lebih baik. Terlebih membawa bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan karena korupsi yang mengrogoti tubuh bangsa ini

Author

  • Ikbar Nariswara

    Nafas kehidupan adalah tentang berbuat baik dan bermanfaat kepada sesama.

Nafas kehidupan adalah tentang berbuat baik dan bermanfaat kepada sesama.

You might also like
Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Abangan Menurut Ricklefs

Abangan Menurut Ricklefs

Dunia Maya Raja Ampat

Dunia Maya Raja Ampat

Filsafat Kaum Rebahan

Filsafat Kaum Rebahan

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang