Abangan Menurut Ricklefs

Abangan Menurut Ricklefs
Gambar yang mengilustrasi Slametan kaum Abangan (Foto: crcs.ugm.ac.id)

Abangan bukan warisan, melainkan hasil perundingan sejarah yang panjang, antara yang didewakan dan yang disisihkan, antara yang disebut Islam dan yang dituduh sekadar kebiasaan.


Scholariumlp3es.com

Merle Calvin Ricklefs, atau yang akrab disapa Ricklefs, adalah sejarawan yang sepanjang hidupnya bukan hanya menulis sejarah, melainkan merawat jarak kritis terhadapnya. Lahir pada 17 Juli 1943 dan wafat pada 29 Desember 2019, Ricklefs menempuh karir akademik yang panjang, dari School of Oriental and African Studies (SOAS) di London hingga Australian National University dan Monash University di Australia. 

Ricklefs dikenal publik luas lewat karya monumentalnya A History of Modern Indonesia since c.1200 (edisi pertama 1981, edisi keempat 2008), sebuah buku yang menjadi rujukan utama dalam pengajaran sejarah Indonesia modern, bukan hanya di dunia akademik Barat, tetapi juga di kalangan sejarawan dan mahasiswa Indonesia.

Namun di balik reputasi sebagai penulis sejarah nasional Indonesia yang komprehensif itu, Ricklefs justru menunjukkan ketajaman terbaiknya saat menelisik kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Jawa dalam rentang yang lebih sempit tapi lebih dalam. Buku-bukunya seperti The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726–1749 (1998), Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, 1830–1930 (2007), dan Islamisation and Its Opponents in Java (2012) memperlihatkan pergeseran fokus dari sejarah negara ke sejarah kehidupan batin rakyat, dari narasi politik ke narasi identitas.

Di sinilah Ricklefs memperlakukan sejarah bukan sekadar sebagai urutan kejadian, melainkan sebagai lanskap budaya yang penuh dengan simbol, konflik nilai, dan perubahan makna. Dan dari semua itu, salah satu sumbangan intelektualnya yang paling bernas dan relevan bagi pemahaman kita hari ini adalah artikelnya Asal-usul Kaum Abangan –diterbitkan di Historia– yang menjadi dasar penelusuran dalam esai ini, sebuah upaya untuk mengurai bukan hanya kapan istilah abangan muncul, tetapi bagaimana ia menjadi penanda sosial, simbol perlawanan, dan matriks politik dalam sejarah panjang masyarakat Jawa.

Abangan Menurut RicklefsInfografis Kampus: Menjaga Kebenaran. (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Kampus: Menjaga Kebenaran. (Foto: Instagram @scholariumco)

Abangan, Sebuah Nama yang Terlambat Muncul

Ricklefs menolak cara pandang lama yang melihat kategori sosial seperti “abangan” sebagai warisan primordial. Baginya, istilah itu bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak dulu dan tinggal dilabelkan, melainkan ciptaan sejarah itu sendiri, produk dari ketegangan, pengucilan, dan penamaan yang baru memperoleh bentuk sosialnya di paruh kedua abad ke-19. Maka, alih-alih menerima kategori itu sebagai fakta, Ricklefs justru mengajukan pertanyaan, dari mana sebenarnya istilah “abangan” berasal? Dan mengapa ia baru tampak jelas dalam sumber-sumber tertulis pada masa kolonial yang lebih belakangan?

Ricklefs melacak asal-usul abangan bukan pada mitos, tetapi pada dokumen. Dalam pandangannya, istilah itu tidak muncul dalam sumber-sumber Jawa ataupun kolonial pada abad ke-17 dan 18, periode yang kaya akan naskah babad, laporan VOC, dan teks keagamaan. Yang muncul justru sebutan seperti putihan, digunakan untuk mereka yang menjalankan kehidupan religius secara ketat, seperti santri atau kaum masjid. Tapi abangan? Tidak ada. Tak satupun menyebutkannya. Kekosongan ini, bagi Ricklefs, bukanlah kebetulan. Ia adalah petunjuk historis.

Barulah memasuki abad ke-19, kata itu mulai timbul ke permukaan, bukan dari pusat-pusat kekuasaan atau pesantren, melainkan dari catatan para misionaris Kristen Belanda yang tinggal di pedalaman Jawa. Nama-nama seperti W. Hoezoo, S.E. Harthoorn, dan terutama Carel Poensen muncul sebagai saksi awal yang mencatat pemisahan sosial antara mereka yang taat beragama dan mereka yang lebih longgar dalam praktik keagamaannya.

Dalam laporan tahun 1855, misalnya, disebutkan istilah tiyang abangan yang dibedakan dari tiyang putihan. Bukan sebagai kategori teologis, melainkan sebagai semacam penanda sosial, penanda yang pada mulanya bersifat peyoratif.

Etimologi kata abangan sendiri tak kalah menarik. Dalam bahasa Jawa ngoko, abang berarti merah, sementara padanannya dalam krama adalah abrit. Maka wong abangan secara harfiah berarti “orang merah”, kontras dengan wong putihan atau “orang putih”.

Di sinilah muncul lapisan makna yang khas Jawa, warna menjadi kode moral. Warna menjadi simbol. Merah tak hanya menunjukkan kebiasaan menyirih yang mewarnai bibir dan pakaian, tapi juga menjadi metafora sosial untuk mereka yang dianggap kurang suci, kurang beriman, kurang tertib dalam mengikuti hukum Islam formal. Ricklefs dengan cermat menyingkirkan penafsiran-penafsiran liar, misalnya yang mengaitkan abangan dengan nama Syekh Lemah Abang atau istilah Arab aba’an, karena tidak ditopang bukti linguistik maupun historis.

Abangan Menurut RicklefsInfografis Kampus: Menjaga Kebenaran. (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Kampus: Menjaga Kebenaran. (Foto: Instagram @scholariumco)

Dari Haji ke Pesantren: Perubahan Sosial Lahirkan Polarisasi

Namun, yang lebih penting dari asal katanya adalah pertanyaan mengapa istilah ini baru muncul ketika masyarakat Jawa sedang mengalami perubahan sosial besar. Ricklefs mencatat bahwa setelah pertengahan abad ke-19, Jawa mengalami gelombang Islamisasi yang signifikan. 

Jumlah jemaah haji meningkat tajam, pesantren tumbuh, tarekat-tarekat berkembang, dan komunikasi antarwilayah menjadi lebih cepat berkat infrastruktur kolonial. Dalam pusaran perubahan itu, muncul sekelompok orang yang merespons ajakan pemurnian Islam dengan menjauh. Bukan karena menolak Islam secara keseluruhan, melainkan karena merasa ajaran baru itu terlalu berat, terlalu berjarak, terlalu bergantung pada teks Arab yang asing.

Di tengah ketegangan itulah, abangan lahir, bukan sebagai identitas yang dipilih, tapi sebagai cap yang ditempelkan. Ia lahir dari konflik gaya hidup, dari pertarungan tafsir, dari pembelahan antara apa yang dianggap suci dan yang diposisikan sebagai profan.

Ricklefs tidak melihat abangan sebagai kelompok yang selalu ada dalam masyarakat Jawa, melainkan sebagai hasil dari perubahan sosial yang sangat spesifik, perjumpaan antara tradisi lokal dan arus reformasi agama yang datang dari luar maupun dari dalam.

Transformasi yang melatari kemunculan abangan tak dapat dilepaskan dari gelombang perubahan yang mengalir deras sepanjang abad ke-19 di Jawa, abad ketika tekanan kolonial, kebangkitan keagamaan, dan dinamika sosial rakyat saling bertumbukan. 

Ricklefs, dengan kehati-hatian seorang sejarawan arsip, menunjukkan bahwa perubahan itu tidak terjadi secara serentak di seluruh wilayah Jawa, melainkan menyebar perlahan dari satu kantong ke kantong lain. Dari Semarang ke Kediri, dari Majawarna ke Malang, perbedaan antara putihan dan abangan merembes mengikuti jalur perdagangan, pendidikan agama, dan misi kolonial.

Salah satu indikator kunci perubahan itu adalah peningkatan tajam dalam jumlah jemaah haji. Pada 1850, pemerintah kolonial hanya mencatat 58 orang dari Jawa yang menunaikan haji. Tapi pada 1858, jumlahnya melonjak menjadi 2.283 orang, dan pada 1898, angka itu kembali melonjak ke 5.322 orang.

Meski statistik ini tak mencakup mereka yang berangkat melalui pelabuhan-pelabuhan alternatif seperti Singapura, ia tetap memberi gambaran tentang meningkatnya kesadaran religius formal di kalangan masyarakat Jawa, terutama mereka yang memiliki akses pada pendidikan Islam dan jaringan dagang antar kawasan.

Perubahan yang sama juga terlihat di dunia pesantren. Menurut catatan pemerintah Belanda, pada 1863 tercatat sekitar 93.680 santri dan 64.980 orang yang secara umum dikategorikan sebagai kaum agama

Sepuluh tahun kemudian, pada 1872, jumlah itu meningkat drastis menjadi 162.474 santri dan 90.023 orang kaum. Dan pada 1892, terdapat 18.202 pesantren dengan total murid mencapai 262.416 jiwa. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan gejala sosial: Islamisasi tengah mengakar dengan kuat, terutama melalui pendidikan dan ritual kolektif.

Namun Islamisasi ini tidak melanda masyarakat secara merata. Di satu sisi, muncul kelas menengah baru yang tumbuh dalam bayang-bayang sistem cultuurstelsel, sistem tanam paksa kolonial yang secara paradoks menciptakan ruang ekonomi di luar kontrol negara. Orang-orang Jawa mulai menekuni industri pengolahan agraria, tekstil rumahan, transportasi, perikanan, hingga kerajinan besi dan gerabah.

Di kota-kota pesisir, muncul kelas pedagang pribumi yang menjalin jaringan dagang dengan komunitas Hadhrami Arab. Dari kelas menengah inilah banyak tokoh santri urban muncul, membawa misi pemurnian agama dengan semangat baru: menolak sinkretisme, menertibkan ritual, dan menyucikan praktik Islam dari “pengaruh lokal”.

Namun di sisi lain, mayoritas rakyat desa –yang kehidupannya lebih bersandar pada adat, ritus agraris, dan kepercayaan lokal– merasa terasing dari gelombang ini. Bagi mereka, Islam yang datang dalam bentuk pesantren dan buku-buku Arab terasa berat dan asing. Bukan karena mereka tidak beragama, tetapi karena bentuk agama yang dibawa berbeda dari apa yang mereka kenal selama ini: Islam yang bercampur dengan sedekah bumi, slametan, kenduri, dan narasi pewayangan.

Ricklefs mencatat bahwa pada dasawarsa 1880-an, ketegangan ini sudah terlihat jelas di daerah seperti Kediri. Poensen, misionaris Belanda yang tinggal di sana lebih dari 30 tahun, melaporkan bahwa mayoritas masyarakat Jawa hidup “dalam kebodohan dan kesalahan”, sementara pesantren dan haji menyebarkan Islam yang “betul” hanya di kalangan terbatas. 

Semakin hari, jurang antara putihan dan abangan kian dalam. “Pada dasarnya,” tulis Poensen dalam satu laporan, “orang-orang menjadi semakin kurang beriman dan saleh… Agama baru itu terlalu berat, terlalu berdasarkan buku, dan apalagi dalam bahasa asing.” Islamisasi formal justru menciptakan polarisasi.

Dengan kata lain, abangan tidak lahir sebagai bentuk resistensi eksplisit, tetapi sebagai produk eksklusi simbolik. Ia lahir karena standar religius yang baru menempatkan bentuk-bentuk Islam lokal sebagai tidak sahih, tidak cukup, bahkan tidak Islami. Dan seperti halnya dalam sejarah mana pun, yang dilabeli sebagai kurang –dalam hal ini, kurang beriman– lambat laun akan menjadi identitas tersendiri, terutama saat ia dijadikan pembeda dalam kehidupan sosial.

Abangan Menurut RicklefsInfografis Kampus: Menjaga Kebenaran. (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Kampus: Menjaga Kebenaran. (Foto: Instagram @scholariumco)

Abangan, Politik Mencari Wajah

Ketegangan antara abangan dan putihan yang semula bersifat sosial dan religius, pada pergantian abad ke-20 mulai menemukan saluran ekspresi yang lebih terstruktur, politik. Jika sepanjang abad ke-19 pembedaan itu terurai dalam laporan misionaris, percakapan di pasar desa, atau istilah dalam surat kabar lokal seperti Bramartani, maka pada dasawarsa 1910-an dan seterusnya, ia menjelma menjadi garis batas ideologis yang membelah organisasi-organisasi massa, partai politik, dan bahkan institusi pendidikan.

Di sinilah Ricklefs melihat bagaimana sejarah sosial berubah menjadi sejarah politik, dan bagaimana istilah abangan, yang awalnya sekadar julukan peyoratif, berubah menjadi kategori sosial yang digunakan untuk mengorganisasi kekuatan.

Sarekat Islam (SI) secara resmi berdiri pada tahun 1912, namun Anton Timur Djaelani dalam bukunya Sarekat Islam, 1905–1942 (diterbitkan oleh LP3ES) menyatakan bahwa embrio organisasi ini telah muncul sejak tahun 1905, yang awalnya merupakan wadah pedagang batik muslim –Rekso Rumekso– di Surakarta, tapi kemudian berkembang menjadi organisasi massa terbesar di Hindia Belanda.

Dalam satu dekade, keanggotaan SI telah merentang ke berbagai wilayah: 90.000 anggota tercatat pada 1919, dan pada puncaknya diperkirakan mencapai lebih dari 2 juta anggota pada awal 1920-an. Di bawah tokoh seperti Tjokroaminoto dan Semaun, SI mengalami ketegangan internal antara mereka yang cenderung ke arah reformisme Islam dan mereka yang lebih dekat dengan ide-ide sosialisme dan komunisme.

Dari perpecahan inilah, pada tahun 1920, lahir Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dalam waktu singkat menemukan basis massanya justru di kalangan abangan. Di wilayah pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur –seperti di Kediri, Madiun, dan Blora– PKI membentuk sel-sel organisasi yang mengakar dalam komunitas petani, buruh tani, dan lapisan bawah masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau oleh pendidikan agama formal. 

Tak mengherankan, ketika pemberontakan PKI meletus pada 1926 di Jawa Barat dan menyebar ke Banten dan Sumatera Barat, banyak yang melihatnya bukan hanya sebagai pemberontakan kelas, tapi juga sebagai perlawanan dari kalangan abangan terhadap otoritas kolonial dan, secara implisit, terhadap hegemoni moral kaum putihan.

Sementara itu, kaum putihan tidak tinggal diam. Mereka justru memperkuat institusionalisasi identitasnya melalui dua pilar utama: Muhammadiyah (didirikan 1912 di Yogyakarta) dan Nahdlatul Ulama (NU, didirikan 1926 di Surabaya). Muhammadiyah, yang lahir dari semangat reformisme Islam ala Timur Tengah, mengusung agenda pemurnian agama dan pendidikan modern. 

Dalam kurun waktu dua dekade, organisasi ini mendirikan ratusan sekolah dan rumah sakit di berbagai kota, dari Kauman di Yogyakarta hingga Padang dan Makassar. NU, sebagai reaksi terhadap purifikasi yang dianggap terlalu kaku, berupaya mempertahankan tradisi keagamaan lokal dan jaringan pesantren, terutama di wilayah seperti Jombang, Bangkalan, dan Banyuwangi. Kedua organisasi ini, meski berbeda corak, sama-sama mewakili ekspresi politik dari masyarakat putihan yang telah matang secara ideologis.

Dalam sensus kolonial 1930, meskipun tidak secara eksplisit menyebut kategori abangan dan putihan, data keagamaan menunjukkan pola menarik, di Jawa Tengah dan Timur, daerah dengan populasi Islam tertinggi juga adalah daerah dengan tingkat partisipasi politik massa yang kuat.

Sebuah penelitian pascakemerdekaan bahkan mencatat bahwa pada pemilu 1955, basis suara NU dan Masyumi bertumpu pada kantong-kantong putihan, sementara PKI dan PNI mendominasi wilayah-wilayah abangan seperti Madiun, Ngawi, Grobogan, Klaten, hingga Banyumas.

Apa yang mula-mula merupakan pengelompokan sosial berdasarkan kepatuhan keagamaan, pada akhirnya berubah menjadi fondasi konflik ideologis yang kompleks. Di tengah ketegangan kolonialisme, urbanisasi, dan nasionalisme, identitas abangan dan putihan tidak lagi sekadar menggambarkan cara seseorang berdoa, tapi juga cara seseorang berpikir tentang bangsa, tanah air, bahkan bentuk negara yang diidamkan.

Abangan Menurut Ricklefs Reels monolog Kat "Sadis" (Foto: Instagram @scholariumco)
Reels monolog “Sadis” (Foto: Instagram @scholariumco)

Abangan dan Peta Tragedi Politik Indonesia

Ketika Indonesia merdeka pada 1945, peta sosial yang selama puluhan tahun digambar dengan garis samar antara abangan dan putihan mulai terpapar dalam terang politik nasional. Ricklefs mencatat bahwa setelah kemerdekaan, kompetisi antara kelompok-kelompok sosial-keagamaan ini tidak lagi hanya berlangsung di ruang wacana atau lembaga pendidikan, tetapi langsung mewujud dalam bentuk aliansi, koalisi, dan konflik terbuka di parlemen, birokrasi, hingga desa-desa terpencil.

Dalam pemilu 1955 –pemilu yang dianggap paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia modern– peta pilihan politik rakyat mencerminkan polarisasi sosial yang telah mengendap lama.

Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sebelumnya dibungkam dan dibubarkan pasca pemberontakan 1926, berhasil bangkit dan menjadi kekuatan politik terbesar keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU. PKI memperoleh 6.179.914 suara untuk DPR (16,36% suara nasional), dengan kekuatan utama berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Sumatera Timur, daerah-daerah yang secara sosiologis dikenal Ricklefs sebagai kantong-kantong abangan.

Di banyak tempat, seperti Madiun, Blora, dan Banyuwangi, PKI bahkan unggul jauh atas partai-partai lain. Mereka tidak hanya memobilisasi petani dan buruh, tetapi juga membentuk organisasi sayap seperti BTI (Barisan Tani Indonesia), Pemuda Rakyat, dan Gerwani, yang merambah ke akar rumput dengan cepat.

Sementara itu, kekuatan putihan terbelah. Masyumi mewakili Islam modernis dengan basis kuat di Sumatera Barat dan wilayah urban Jawa Barat, sedangkan Nahdlatul Ulama tampil sebagai penampung aspirasi tradisionalis yang berbasis pada jaringan pesantren dan kyai.

Namun di pedesaan, konflik antara dua dunia itu tidak selalu berjalan rapi dan prosedural. Di banyak tempat, seperti yang dicatat dalam berbagai studi etnografi dan laporan pemerintah daerah, ketegangan itu terwujud dalam sengketa tanah, perebutan masjid, pelarangan ritual, hingga pengusiran tokoh-tokoh agama.

Memasuki dekade 1960-an, ketika Presiden Sukarno mengedepankan politik Nasakom (Nasionalis–Agama–Komunis), konflik ini mencapai ambang ledak. Di bawah perlindungan ideologis negara, PKI memperluas pengaruhnya secara agresif.

Program Aksi Sepihak untuk meredistribusi tanah berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 –meskipun legal secara formal– sering kali memicu benturan dengan kyai pesantren, tuan tanah, atau kelompok santri. Laporan dari Kediri (1964) mencatat lebih dari 300 insiden perebutan tanah dan masjid oleh kelompok-kelompok yang mengklaim sebagai wakil rakyat miskin.

Lalu pecah peristiwa 30 September 1965. Ketika jenderal TNI AD dibunuh oleh Gerakan 30 September (G30S), yang kemudian dituduhkan sebagai bagian dari konspirasi PKI, roda sejarah berputar tajam dan brutal. Dalam beberapa bulan, pembalasan massal terjadi, dimulai dari Jawa Tengah, meluas ke Jawa Timur, Bali, dan sebagian Sumatera. 

Dalam catatan Ricklefs, Jawa Timur mencatat pembunuhan paling tinggi. Laporan resmi menyebut angka 78.000 orang terbunuh di provinsi ini saja, sementara estimasi tidak resmi menyebutkan jumlah korban di seluruh Indonesia mencapai 500.000 hingga satu juta jiwa.

Dan korban terbesar datang dari kalangan abangan. Bukan hanya kader PKI, tetapi para petani, seniman, guru, atau tokoh desa yang dituduh sebagai “komunis” karena afiliasi politik, atau sekadar karena mengikuti slametan yang dianggap “tidak Islami” oleh kelompok milisi. Di desa-desa seperti Kanigoro (Blitar), misalnya, pesantren menjadi pusat komando pembantaian, dan orang-orang yang sebelumnya hidup berdampingan dalam ruang-ruang budaya lokal –pasar, ladang, langgar– tiba-tiba saling memburu dalam logika penghabisan.

Yang tragis, seperti yang dicatat Ricklefs dalam nada tenang tapi tajam, adalah bahwa pembelahan ini –yang bermula dari perbedaan cara beragama– akhirnya menjadi alat untuk menyaring siapa yang pantas hidup dan siapa yang boleh dimusnahkan. Polarisasi antara abangan dan putihan, yang semula hanya sebuah diferensiasi sosiokultural, berubah menjadi sumbu pembunuhan massal yang dibiarkan, bahkan disponsori, oleh negara yang sedang membangun legitimasi baru di bawah rezim Orde Baru.

Abangan Menurut RicklefsReels monolog (Foto: Instagram @scholariumco)
Reels monolog (Foto: Instagram @scholariumco)
Abangan sebagai Matriks Politik

Apa yang sering luput dari pembacaan mahasiswa ilmu politik hari ini, dan bahkan dari sejumlah studi politik mapan, adalah kenyataan bahwa abangan bukan sekadar kategori sosiologis, apalagi label statis dalam studi identitas keagamaan.

Dalam pembacaan Ricklefs, abangan justru harus dipahami sebagai matriks politik, sebuah konfigurasi yang memungkinkan mobilisasi, resistensi, dan produksi makna politik berlangsung, bahkan sebelum politik dipahami dalam arti formal kelembagaan. Bukan dalam arti bahwa abangan adalah partai atau ideologi, melainkan bahwa ia merupakan cara hidup yang menubuh dalam pengalaman sehari-hari dan kemudian dijadikan dasar untuk memilih, berpihak, dan bertindak dalam medan kekuasaan.

Sebagai matriks politik, abangan memberi kerangka kepada mereka yang tersisih dari norma-norma dominan, terutama dari Islam normatif yang terinstitusionalisasi melalui jaringan pesantren dan organisasi keagamaan besar.

Di desa-desa Jawa yang menjadi basis massa PKI, praktik slametan, sedekah bumi, dan ritus-ritus agraris bukan hanya dilestarikan sebagai warisan budaya, tetapi sekaligus sebagai bentuk penolakan halus terhadap narasi pemurnian agama yang sering kali dibawa oleh elite kota, guru agama, atau aparat negara. Pilihan politik terhadap PKI, PNI, atau organisasi-organisasi kiri lainnya bukan semata-mata berdasarkan kesadaran ideologis Marxis, tetapi karena mereka menyediakan ruang perlindungan bagi ekspresi kebudayaan abangan yang makin tertekan.

Di sinilah letak rasionalisasinya, abangan adalah ekosistem nilai dan praktik yang memungkinkan lahirnya kesadaran politik dari bawah dari tubuh, dari adat, dari kebiasaan hidup bersama. Ia bukan identitas yang bergerak secara vertikal menuju negara, tetapi yang tumbuh horizontal melalui jejaring keluarga, ritual, dan pengalaman bersama menghadapi struktur yang dianggap asing dan represif.

Sebab itu pula, Ricklefs tidak pernah menyederhanakan abangan sebagai bentuk “Islam yang kurang” atau “kepercayaan sisa”. Ia melihat abangan sebagai hasil historis dari eksklusi berulang, yang kemudian diartikulasikan secara kolektif dalam wujud politik.

Kebingungan mahasiswa ilmu politik sering kali muncul karena mereka dibesarkan dalam tradisi analisis yang menuntut bentuk politik yang “tersurat”: partai, parlemen, militer, pemilu. Tapi abangan, dalam pemahaman Ricklefs, justru menantang bentuk-bentuk tersebut. Ia menunjukkan bahwa yang tersirat, yang sehari-hari, dan yang tidak masuk dalam kategori ideologis formal bisa menjadi basis politik yang sangat nyata—bahkan mematikan.

Bukan kebetulan jika ketika Orde Baru ingin menertibkan politik Indonesia, langkah pertamanya adalah memusnahkan yang dianggap “abangan”, baik dalam bentuk fisik (dalam pembunuhan massal) maupun dalam bentuk simbolik (melalui depolitisasi kebudayaan lokal).

Well, memahami abangan hari ini bukan hanya soal membaca ulang sejarah kolonial atau mencari asal-usul istilah. Ia adalah undangan untuk melihat bagaimana identitas yang didefinisikan dari pinggir –yang tidak diterima oleh pusat doktrin atau otoritas negara– dapat menjadi fondasi bagi resistensi dan perlawanan.

Dan inilah barangkali pelajaran terbesar dari Ricklefs: bahwa sejarah tidak pernah netral, dan bahwa setiap istilah sosial yang kita anggap alami –seperti abangan– selalu menyimpan sejarah kekuasaan, konflik, dan pilihan politik yang menuntut pembacaan ulang yang jujur dan radikal.


Polemik RDF Rorotan dan Sampah: Ini Kata Alumni Jepang dan Rusia! | KATA KUNCI LP3ES

Author

Pemimpin adalah yang menderita

You might also like
Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Dunia Maya Raja Ampat

Dunia Maya Raja Ampat

Filsafat Kaum Rebahan

Filsafat Kaum Rebahan

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Sampah dan Bau Busuk Ekofasisme

Sampah dan Bau Busuk Ekofasisme