Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik Simbolik

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik Simbolik
Presiden RI Prabowo Subianto. (Foto: Times Indonesia)

Kadang, kekuasaan itu mirip banget sama The One Ring di The Lord of the Rings, kelihatannya keren, tapi bisa bikin orang lupa siapa dirinya. Belakangan ini, waktu Presiden Prabowo kasih penghargaan dan kenaikan pangkat buat aparat yang terluka saat demo, banyak yang lihat itu bukan cuma soal administrasi, tapi juga soal simbol. Lantas, seperti apa tafsir simbol ini, yuk baca selengkapnya. (red.)


Scholariumlp3es.com

Dalam kisah The Lord of the Rings, terdapat Cincin Tunggal (The One Ring) yang ditempa oleh Sauron untuk menguasai semua cincin lainnya, dan membuat siapa pun yang memakainya gelap mata oleh hasrat akan kekuasaan. Selayaknya cincin dalam kisah itu, sebuah pangkat atau tanda penghargaan bukan sekadar logam yang melekat di dada, melainkan beban makna dan kekuasaan. Sebuah simbol kecil dapat mengubah nasib bangsa, mengikat loyalitas, sekaligus menimbulkan pertanyaan, siapa yang sungguh layak memilikinya? Demikian pula pangkat dan tanda jasa yang diberikan negara; ia lebih dari seremonial, ia adalah bahasa kekuasaan.

Ketika Presiden Prabowo Subianto mengunjungi aparat yang terluka akibat demonstrasi beberapa hari lalu, ia tidak sekadar datang untuk membawa perhatian. Lebih dari itu, ia menginstruksikan pemberian kenaikan pangkat luar biasa serta penghargaan resmi bagi para aparat yang terluka. Keputusan tersebut bukan hanya kebijakan administratif, melainkan tindakan simbolik yang sarat makna politik, moral, dan budaya.

Ernst Cassirer, dalam karyanya An Essay on Man (1944) mengemukakan gagasan bahwa manusia adalah animal symbolicum yakni makhluk yang hidup, membangun, dan menafsirkan dunia melalui simbol. Dalam kerangka ini, tindakan Presiden Prabowo dapat dibaca bukan hanya  sebagai kebijakan administratif, tetapi sebagai ekspresi simbolik: kenaikan pangkat dan pemberian penghargaan menjadi tanda pengakuan atas pengorbanan sekaligus peneguhan martabat negara di hadapan publik.

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik SimbolikInfografis Purbaya Vs. Everybody. (Foto: @scholariumco)
Infografis Purbaya Vs. Everybody. (Foto: @scholariumco)

Simbol sebagai Bahasa Kekuasaan

Cassirer menegaskan bahwa simbol merupakan medium utama bagi manusia untuk memahami sekaligus membentuk realitas. Dalam konteks ini, kebijakan pemberian penghargaan kepada aparat bukan hanya fakta birokratis, melainkan bahasa simbolik kekuasaan. Melalui tindakan itu, negara sedang “berbicara” kepada publik, menegaskan bahwa aparat adalah pilar utama stabilitas politik, bahkan ketika harus berhadapan dengan ekspresi protes rakyat.

Namun, simbol ini menjadi problematis ketika dimaknai secara sepihak. Jika aparat diposisikan semata sebagai penerima legitimasi simbolik, bagaimana dengan para demonstran yang juga merupakan warga negara sah, yang mengekspresikan aspirasi politik melalui aksi massa? Apakah mereka turut masuk dalam lingkar pengakuan simbolik negara, atau justru ditempatkan sebagai “engkau yang lain” yang dianggap mengganggu tatanan?

Menurut Cassirer, simbol adalah cara manusia memberi makna pada realitas. Dalam konteks politik, simbol bukan hanya bendera, slogan, atau pidato, melainkan juga kebijakan yang dikemas dengan makna tertentu. Kenaikan pangkat aparat yang terluka dapat dibaca sebagai bahasa simbolik negara untuk menyampaikan pesan bahwa pengorbanan aparat tidak sia-sia, sekaligus menegaskan bahwa negara hadir melindungi mereka.

Di mata publik, kebijakan ini menimbulkan persepsi ganda. Di satu sisi, ia memperkuat legitimasi moral negara di hadapan rakyat. Namun di sisi lain, ia juga membuka pertanyaan: apakah simbol penghargaan semacam ini cukup untuk menjawab problem yang lebih mendasar, yakni relasi kuasa antara negara, aparat, dan rakyat dalam ruang demokrasi?

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik SimbolikInfografis Purbaya Vs. Everybody. (Foto: @scholariumco)
Infografis Purbaya Vs. Everybody. (Foto: @scholariumco)

Politik sebagai Dunia Simbol

Cassirer menekankan bahwa politik modern tidak dapat dilepaskan dari simbol. Bendera, warna, lagu kebangsaan, seragam, hingga upacara kenegaraan merupakan bentuk-bentuk ekspresi simbolik yang menyatukan masyarakat dalam satu identitas kolektif.

Dalam konteks ini, langkah Presiden Prabowo menegaskan bahwa politik tidak hanya soal urusan regulasi dan kebijakan, tetapi juga seni mengelola simbol. Penghargaan bagi aparat yang terluka berfungsi sebagai narasi simbolik yang memperkuat legitimasi politik sekaligus membangun citra kepemimpinan yang “mengayomi.

Namun, pada titik ini, pertanyaan pun muncul: apakah simbol tersebut sepenuhnya menghadirkan makna yang adil bagi seluruh pihak, atau justru bekerja terutama untuk meneguhkan narasi kekuasaan?

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik SimbolikInfografis Donasi KDM. (Foto: @scholariumco)
Infografis Donasi KDM. (Foto: @scholariumco)

Antara Simbol dan Realitas

Cassirer menekankan bahwa manusia tidak pernah berhadapan langsung dengan realitas, melainkan selalu menengahi realitas lewat simbol. Demikian pula dalam politik, pangkat dan tanda jasa merupakan realitas simbolik yang berfungsi mengangkat makna dari suatu peristiwa. Namun, simbol senantiasa bersifat ambivalen: ia dapat mengangkat martabat, tetapi juga menutupi luka sosial rakyat. Tanpa disertai tindakan substantif, seperti perbaikan sistem keamanan, perlindungan hak demonstrasi warga, dan penegakan hukum terhadap aparat yang bersalah, maka simbol semacam itu akan merosot menjadi hanya ornamen kekuasaan, kehilangan daya etik dan makna kemanusiaannya.

Demonstrasi sendiri adalah bentuk simbolik rakyat, cara masyarakat berbicara kepada kekuasaan melalui tubuh, suara, dan kehadiran di jalanan. Di titik inilah terjadi benturan simbol, yakni simbol rakyat yang menuntut pengakuan berhadapan dengan simbol negara yang menegaskan otoritasnya.

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik SimbolikInfografis Donasi KDM. (Foto: @scholariumco)
Infografis Donasi KDM. (Foto: @scholariumco)

Simbol, Rakyat, dan Ruang Publik

Cassirer juga mengingatkan bahwa simbol bisa bersifat membebaskan sekaligus mengekang. Simbol mampu membuka ruang solidaritas, tetapi juga bisa mengaburkan realitas.

Jika simbol penghargaan kenaikan pangkat bagi aparat hanya digunakan untuk memperkokoh narasi negara tanpa menyertakan ruang dialog dengan rakyat, terutama mereka yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi, maka simbol kehilangan daya emansipatorisnya. Ia berubah menjadi instrumen hegemoni.

Dalam masyarakat demokratis, simbol seharusnya menjadi ruang perjumpaan, bukan pemisahan. Pemberian penghargaan kenaikan pangkat pada aparat tentu penting, tetapi negara juga perlu menghadirkan simbol-simbol rekonsiliasi dengan masyarakat sipil agar tidak tercipta jurang makna antara “aparat” dan “rakyat.”

Ketika benturan ini melahirkan luka, simbol penghargaan kepada aparat perlu dibaca bersama dengan simbol perlindungan terhadap hak warga negara. Jika tidak, ruang publik yang semestinya menjadi arena dialog akan tergantikan oleh simbol dominasi sepihak.

Penghargaan kenaikan pangkat kepada aparat dapat dibaca sebagai simbol yang lahir dari “ruang monologis”, bukan dialogis. Padahal, dalam konteks demokrasi, simbol seharusnya menjadi sarana dialog antara negara dan warga. Cassirer mengatakan, “manusia hidup di alam semesta yang simbolis … Ia tak dapat menghadapi realitas dengan cepat; Ia tidak bisa melihatnya secara langsung, seolah-olah bersimuka.” (1944). Manusia bergantung pada simbol, tetapi simbol harus membuka jalan menuju realitas, bukan menutupinya.

Cincin Kekuasaan dan Martabat Manusia: Sebuah Refleksi Politik SimbolikVideo reels monolog resensi buku Soekarno. (Foto: @scholariumco)
Video reels monolog resensi buku Soekarno. (Foto: @scholariumco)
Menjaga Martabat dengan Simbol yang Bijak

Cassirer mengingatkan pula bahwa kebudayaan manusia adalah jejaring simbol. Karena itu, tugas negara bukan hanya memproduksi simbol-simbol atau tanda-tanda yang lain, melainkan mengelola makna simbol itu dengan bijak. Kenaikan pangkat aparat adalah simbol penghargaan yang penting, tetapi demokrasi juga menuntut simbol lain yakni penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyampaikan pendapat.

Dengan demikian, di balik kebijakan Presiden Prabowo, kita diajak untuk merefleksikan kembali, apakah simbol penghargaan kepada aparat sudah diimbangi dengan simbol keadilan dan kebebasan rakyat? Apakah negara mampu menjaga keseimbangan antara pengorbanan aparat dan hak rakyat dengan rasa kemanusiaan?

Simbol adalah bahasa politik. Dalam diri aparat yang menerima penghargaan, negara ingin menegaskan martabatnya. Akan tetapi, martabat sejati bangsa hanya akan lahir jika simbol itu disertai komitmen pada nilai demokrasi yang substansial.

Kita tentu tidak menolak simbol. Sebagai animal symbolicum, manusia membutuhkan simbol untuk hidup bersama. Tetapi simbol harus ditempatkan secara proporsional. Dalam demokrasi, simbol seharusnya bukan hanya alat penguasa, tetapi juga medium rakyat.

Maka, solusi ke depan yakni pertama, menjadikan simbol sebagai bahasa rekonsiliasi, bukan sekadar penghargaan sepihak, tetapi ungkapan kesadaran bersama. Kedua, mengisi simbol dengan kebijakan nyata, sebab penghargaan simbolik harus disertai langkah substantif, seperti penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam demonstrasi. Ketiga, membuka ruang dialog simbolik. Negara perlu menghadirkan simbol-simbol baru yang melibatkan partisipasi warga sipil, sehingga ruang publik benar-benar menjadi arena komunikasi, bukan propaganda.

Simbol politik yang bijak, bukan hanya mengafirmasi satu pihak. Namun merangkul semua yang terluka oleh konflik sosial. Jika simbol hanya melayani kepentingan kekuasaan, maka ia akan kehilangan makna filosofisnya sebagai jembatan menuju kebenaran.

Oleh karena itu, kebijakan penghargaan ini perlu dikritisi bukan untuk menafikan pengorbanan aparat, melainkan untuk mengingatkan bahwa demokrasi hanya akan sehat bila simbol yang dihadirkan negara bersifat inklusif, dialogis, dan substantif. Marwah politik tidak ditentukan semata oleh kekuasaan, kekuatan fisik, atau administratif, melainkan oleh kekuatan simbolik yang jujur, adil, dan berpihak pada kemanusiaan.

Selayaknya The Lord of The Rings, cincin kekuasaan bisa membuat pemiliknya buta pada makna sejati dirinya. Tetapi martabat adalah cahaya lembut yang tak dapat dikuasai oleh genggaman apapun. Di ujung perjalanan, manusia bukan dinilai dari pangkat yang ia tersemat di badan, melainkan dari jejak kebaikan yang ia tinggalkan.


Kebijakan Purbaya dan Napas Baru Ekonomi Tembakau Madura | KATA KUNCI LP3ES

Author

  • G.K. Suhassatya

    Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya & Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney Surabayanum

Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya & Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney Surabayanum

You might also like
Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)

Keinsyafan Kuantum: Pilihan Sejarah Generasi Muda(h)

Ekstraksi Nilai Lebih dalam Ekonomi Mikro: Perspektif Marxis

Ekstraksi Nilai Lebih dalam Ekonomi Mikro: Perspektif Marxis

Membongkar Identitas “Koboy” Purbaya

Membongkar Identitas “Koboy” Purbaya

Deepfake Porn Di Era Etika Digital

Deepfake Porn Di Era Etika Digital

Corak Sentralisasi Pemerintahan Prabowo

Corak Sentralisasi Pemerintahan Prabowo

Dengung Hantu Asing yang Merusak Demokrasi

Dengung Hantu Asing yang Merusak Demokrasi