Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?
Ilustrasi Aktivitas Buzzer di Media Sosial (Foto: pexels.com/pixabay)

Tatkala para Clipper menyulam potongan citra serupa lambaian bendera perang, kita pun mafhum: pasukan siber bukan bubar, melainkan berbiak dalam rupa yang lebih gemulai. Anonimitas menjadi semacam selubung suci—ia menyembunyikan niat, menyingkap kuasa. Dan kita, para penonton, kerap tak kuasa membedakan hiburan dari propaganda. (red.)


Scholariumlp3es.com

Ferry Irwandi beberapa waktu lalu menyebut peran buzzer dan influencer sudah tamat. Peran keduanya, katanya, akan digantikan oleh clipper, aktor baru yang memproduksi potongan video pendek di media sosial. Ia juga menganalisis bahwa peran buzzer dan infleuncer kini hanya menyumbang 20 persen dari pertarungan wacana di ruang digital.

Klaim tentang penurunan pengaruh buzzer ini terasa seperti angin segar di tengah tsunami informasi. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, bukan peran mereka yang benar-benar berakhir, melainkan terjadi pergeseran bentuk dan strategi yang mengikuti perkembangan mutakhir.

Ketika publik mengira era buzzer telah usai, laporan Harian Kompas justru mengungkap kenyataan sebaliknya. Investigasi Kompas menemukan praktik jaringan buzzer yang masih aktif, terorganisir, dan memanfaatkan celah di ruang digital yang belum tersentuh regulasi. Peran mereka masih belum surut dalam menyebarkan disinformasi: mulai dari pemasaran produk hingga propaganda politik, dari manipulasi ulasan belanja daring, sampai intimidasi terhadap warga yang berani menyuarakan kritik.

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?Infografis Mahkamah Konstitusi: Legislator Negatif? (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Mahkamah Konstitusi: Legislator Negatif? (Foto: Instagram @scholariumco)

Tatkala Buzzer Belum Reda

Untuk memahami posisi buzzer dalam ekosistem ini, penting melihat bagaimana aktor-aktor digital lain beroperasi dan berinteraksi. Sebab Buzzer tidak berdiri sendiri, melainkan berjalan beriringan dengan aktor lain yang saling bekerja sama mengemas orkestrasi pasukan siber.

Andreas Maryoto menyebut bahwa ekosistem digital kini dihuni beragam aktor: Key Opinion Leader (KOL), influencer, buzzer, dan kini, clipper. KOL umumnya memakai identitas asli, membangun kepercayaan melalui keahlian, dan memiliki audiens yang spesifik. Influencer mirip, tetapi dengan gaya penyampaian lebih kasual dan jangkauan lebih luas. Keduanya tampil terbuka dan mengandalkan kredibilitas personal.

Sebaliknya, buzzer bekerja dalam bayang-bayang. Wijayanto dalam studinya mendefinisikan mereka sebagai aktor yang sebagian besar menggunakan identitas anonim untuk menyebarkan pesan secara berulang agar mendorong konten jangkauan audiens lebih luas.

Selain itu, para aktor digital juga kerap dibantu oleh akun robot yang tidak selalu dikendalikan secara manual. Samuel C Woolley, dalam Bots and Computational Propaganda, mencatat bahwa propaganda digital kini dijalankan oleh jaringan aktor yang memanfaatkan pendekatan komputasional. Mereka menggunakan bot, analitik data, dan pembelajaran mesin untuk menyebarkan pesan secara cepat, masif, dan terkoordinasi.

Kemunculan clipper memperlihatkan bahwa pola komunikasi politik berbasis anonimitas masih terus berlangsung, meski kini dalam kemasan baru yang lebih segar. Hal ini menunjukkanadanya pergeseran pola, bukan berakhirnya sebuah peran. Meski tampil berbeda, aktor pemotong video pendek ini justru memungkinkan logika kerja pasukan siber yang semakin dinamis: anonim, tidak akuntabel, dan memungkinkan sarat dengan framing.

Di sisi lain, konten visual dan audiovisual dalam video pendek memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan konten teks. Telaah Joan Donovan (2021) dalam Visual Mis- and Disinformation, Social Media, and Democracy, menyatakan basis konten video memiliki daya pengaruh lebih tinggi: cepat menyebar, memicu emosi, dan kerap dianggap lebih kredibel dibanding teks.

Disinformasi visual juga lebih sulit dideteksi karena tampil sebagai hiburan. Studi Donovan juga mencatat dua dampak utama dari disinformasi berbasis video. Pertama, ia dapat memengaruhi persepsi publik dan mendongkrak keberhasilan politik individu tertentu. Kedua, basis konten video juga memicu kebingungan massal yang membuat publik kesulitan membedakan antara fakta dan kebohongan.

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?Infografis Mahkamah Konstitusi: Legislator Negatif? (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Mahkamah Konstitusi: Legislator Negatif? (Foto: Instagram @scholariumco)

Clipper Menyulam Bayang-Bayang

Kehadiran Clipper berkaitan erat dengan pola kerja pasukan siber yang semakin kompleks dan dinamis. Ward Berenschot (2024) menunjukkan bahwa pasukan siber di Indonesia dijalankan secara proyek, melibatkan pekerja lepas seperti operator akun anonim, kreator konten, dan koordinator tim yang direkrut oleh klien politik. Pola ini sejalan dengan temuan Ong dan Cabanes (2018) di Filipina, yang mencatat bahwa elite politik menyewa konsultan komunikasi dan mikro-influencer untuk memproduksi disinformasi secara sistematis dan tersembunyi.

Pemilu 2024 memperlihatkan kesinambungan pola ini. Temuan Project Multatuli mengungkap bahwa meskipun beredar banyak konten negatif terhadap Prabowo, platform TikTok sebagai basis video pendek justru dipenuhi oleh konten bernuansa positif yang dikemas dengan citra “gemoy”. Konten-konten ini hadir secara masif di linimasa pengguna, dengan tujuan membanjiri ruang digital sehingga narasi kritis tersisih.

Konten video pendek yang diproduksi Clipper mungkin berbeda dengan konten teks atau gambar yang digunakan Buzzer. Namun strategi yang digunakan masih menggunakan pola yang serupa. Artinya, Clipper bukan menghilangkan peran buzzer, melainkan melengkapi praktik orkestrasi pasukan siber. Pergeseran medium dari teks ke audiovisual dan dari X (Twitter) ke TikTok sebagai ruang utama menjadi penanda kerja teknis mereka semakin dinamis.

Pergeseran medium dan platform yang digunakan tak lepas dari perubahan cara masyarakat mengonsumsi informasi. Laporan Digital News Report 2024 menunjukkan 60 persen warga Indonesia mengakses berita dari media sosial, jauh melampaui televisi (48 persen) dan media cetak (9 persen). Platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts menjadi titik pusat konsumsi berita, melampaui situs resmi media. Selain itu, terjadi perubahan konsumsi berita dimana dua dari tiga orang (66 persen) di dunia kini mengakses berita melalui video pendek setiap minggunya, dan kosumsi video pendek masyarakat Indonesia mencapai 78 persen yang melebihi rerata global.

Dengan perubahan basis pengguna sebesar itu, tak mengherankan jika clipper menjadi aktor strategis dalam produksi opini publik. Dalam medium audiovisual serba cepat, clipper menunjukkan eksistensinya semakin dibutuhkan untuk mengerek viralitas konten dan popularitas objek pemesan. Awalnya mungkin sekadar bentuk kreativitas anak muda. Namun, ketika orientasinya bergeser agenda politik, potensi bahayanya tak bisa diabaikan. Clipper bisa menjadi wajah baru dari propaganda digital yang menyamar sebagai hiburan.

Selain pola, salah satu karakteristik khas baik buzzer maupun Clipper adalah identitas mereka yang cenderung menggunakan akun anonim. Mereka piawai memanfaatkan celah ini sebagai zona abu-abu dalam ruang digital yang belum mendapat perhatian regulasi. Anonimitas mesti diperhatikan karena riskan digunakan untuk agenda putih atau kampanye hitam.

Lebih jauh studi Hans Asenbaum (2018) menyebut anonimitas menghasilkan tiga kontradiksi: bisa inklusif sekaligus eksklusif, jujur sekaligus menipu, subversif sekaligus menaklukkan. Artinya, anonimitas dapat membuka ruang bagi partisipasi warga tanpa rasa takut, namun di saat yang sama memberi celah bagi penyalahgunaan identitas untuk menyerang, menyesatkan, dan memanipulasi opini publik.

Anonimitas juga memungkinkan aktor digital mengkritik keras kekuasaan, tetapi ironisnya, secara praktik justru sering menjadi alat kuasa untuk membingkai wacana publik agar mendukung agenda tertentu.

Dalam konteks Indonesia, seperti ditunjukkan oleh studi Nurul Hasfi (2014), akun anonim dalam lanskap politik kerap mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan menciptakan debat yang patologis. Alih-alih memperkuat demokrasi, akun anonim justru merusak kualitas dikursus publik.

Pada akhirnya rusaknya diskursus publik bukan soal siapa menggantikan siapa. Lewat anonimitas pasukan siber bukan saling menggantikan tetapi semakin melengkapi. Selama anonimitas digital dipelihara tanpa akuntabilitas, sepanjang itu pula pasukan siber baik Buzzer maupun Clipper rentan memanipulasi ruang digital dengan agenda tersembunyi yang sulit dikoreksi.

Di era banjir informasi, di saat setiap orang dapat memproduksi konten, yang alpa adalah rasa peduli untuk saling menjamin ruang publik digital jauh dari mis-, dis-, mal informasi. Di samping itu literasi digital yang kritis, regulasi yang adaptif, serta etika komunikasi yang dijunjung tinggi menjadi kunci untuk memastikan ruang publik digital tidak sepenuhnya dikuasai oleh algoritma dan aktor bayangan, tetapi tetap menjadi tempat yang sehat untuk pertukaran gagasan, keberagaman suara, dan penguatan demokrasi.


Putusan MK 135, Milestone Baru Pemilu Indonesia? | LP3ES PERSPEKTIF

Author

Analis Politik Media Lab 45

You might also like
Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Abangan Menurut Ricklefs

Abangan Menurut Ricklefs

Dunia Maya Raja Ampat

Dunia Maya Raja Ampat

Filsafat Kaum Rebahan

Filsafat Kaum Rebahan

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Sampah dan Bau Busuk Ekofasisme

Sampah dan Bau Busuk Ekofasisme