Ketat Awasi Orang Asing Tunjukan Demokrasi Semakin Terhimpit

Ketat Awasi Orang Asing Tunjukan Demokrasi Semakin Terhimpit

Kepolisian baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing. Peraturan ataupun regulasi merupakan produk politik. Hal tersebut berdasar bahwa, setiap peraturan/regulasi punya maksud dan tujuan tertentu. Layaknya peluru yang dilepaskan ke arah yang sudah ditentukan. Memasukkan Pasal multitafsir sama seperti melepaskan peluru ke segala arah. Dia dapat bergerak kemana saja sesuai keinginan si pengarah. Sangat berbahaya, karena bisa menjadi alat kriminalisasi bagi siapapun layaknya UU ITE. Namun yang menjadi pertanyaan adalah peraturan di atas keluar karena memang tuntutan keadaan zaman dan adanya kekosongan hukum atau justru karena ada intrik kepentingan politik tertentu! Hal ini yang agaknya harus jeli dalam melihatnya.

Dalam hukum, ada sebuah asas yang berbunyi Lex superior derogate legi ineriori, yang artinya “peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hirearki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi”. Asas tersebut sudah pakem. Seperti angka 2 yang tidak boleh hilang diantara angka 1 sampai 3. Sehingga ada keteraturan dalam sebuah hukum antara yang satu dengan yang lainnya. Jika kita lihat, Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 15 ayat (2) huruf i yang berbunyi: “melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait”. Pasal tersebut jelas mengatur bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Polisi terhadap orang asing dengan tetap melakukan koordinasi dengan instansi terkait.

Sebelum kita membahas lebih dalam, kita merujuk Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang fungsi Kepolisian yang berbunyi: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban Masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat”. Diksi “Pengawasan” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i bisa kita artikan sebagaimana Pengawasan yang didefinisikan oleh Sujamto dalam bukunya aspek-aspek Pengawasan di Indonesia sebagai: “Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”.

Maka dalam konteks Pasal 15 ayat (2) huruf i itu jelas bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap orang asing ialah dalam rangka menjalankan apa yang diamanatkan dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Jadi pengawasannya untuk memastikan Pasal 2 tetap terjamin. Namun yang menjadi persoalan dalam Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 tersebut terkait mekanisme koordinasi dengan instansi terkait. Kata pengawasan sering mempunyai konotasi yang tidak menyenangkan, karena dianggap akan mengancam kebebasan dan otonomi pribadi. Maka sudah selayaknya benar jika Pengawasan terhadap orang asing memang harus berkoordinasi dengan instansi terkait.

Namun, definisi Koordinasi dengan instansi terkait sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 tidak mencerminkan adanya koordinasi, namun justru bertindak sendiri. Pasal 2 ayat (2) huruf a dan b Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 berbunyi: “(2) Koordinasi dengan instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. berperan aktif dalam tim pengawasan Orang Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. melakukan interporebalitas data Orang Asing yang menginap di Wilayah Indonesia”. Jelas bahwa dalam bunyi pasal tersebut tidak menunjukkan adanya koordinasi dengan instansi terkait, tapi cenderung mengawasi dengan kehendak sendiri. Ini memberikan kewenangan Polisi secara luas terhadap pengawasan Orang Asing. Redaksi “dengan koordinasi instansi terkait”, harusnya ketika keluar peraturannya dapat berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB), bukan peraturan kepolisian yang berdiri sendiri, sehingga ini dapat dikatakan melanggar Undang-Undang Kepolisian.

Sebab disini jelas Kepolisian bertugas melebihi kewenangannya. Jadi jangan kaget jika ada sebuah kegiatan yang mendatangkan Orang Asing lalu Polisi tiba-tiba datang untuk meminta keterangan ditengah acara yang sedang berlangsung sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Juncto Pasal 6 huruf a dan b Peraturan Nomor 3 Tahun 2025. Suasana seperti itu mengingatkan kita pada masa Orde Baru, Dimana TNI tiba-tiba datang membubarkan kegiatan dengan dalih melanggar undang-undang. Namun kali ini aktor yang digunakan sebagai alat adalah polisi.

Yang janggal mengani Peraturan ini ialah dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yang berbunyi: “Penerbitan surat keterangan Kepolisian terhadap Orang Asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada Lokasi tertentu”.  Dalam konteks ini jelas bahwa Kepolisian menjudge atau menjustifikasi bahwa kegiatan jurnalistik dan penelitian merupakan sesuatu yang berbahaya karena harus mendapatkan surat keterangan dari Kepolisian. Basis argument atau fundamental thingking peraturan ini jelas harus dipertanyakan. Atau jangan-jangan penambahan bunyi Pasal tersebut hanya untuk kepentingan politik tertentu? Ini yang perlu untuk di kritisi.

Sebab Presiden Prabowo pernah mengatakan bahwa: “akan terungkap lembaga swadaya masyarakat dan media massa yang dibiayai oleh pihak asing untuk mempengaruhi opini publik”. Terlihat ada ketakutan dari Presiden terhadap adanya orang asing, cenderung menutup informasi. Apakah presiden lupa jika program-program penurunan stunting di Indonesia, termasuk Papua dan Makkasar di danai oleh USAID (Badan Pembangunan Internasional) yang sekarang sudah ditutup oleh Trump karena efisiensi. Dan implementasinya pun dimulai dari menjalankan riset, sehingga akan tepat sasaran. Disisi lain Presiden juga tidak dapat menerangkan Lembaga swadaya Masyarakat dan media massa mana yang berpotensi memecah belah? Jika hukum dibuat atas dasar like and dislike maka ini sangat berbahaya.

Karena sudah jelas sebagai alat kekuasaan. Disisi lain penerbitan surat keterangan kepolisian akan menjadi lahan basah baru bagi kepolisian. Seperti yang sudah kita ketahui dan menjadi rahasia umum jika Polisi mau bergerak jika ada uang “pelicin”. Jika hukum ditegakkan atas dasar adanya uang suap, maka hukum tersebut menjadi tidak efektif. Peraturan ini muncul bukan untuk mempermudah dalam mekanisme tapi malah semakin membuat rumit. Ibarat yang seharusnya buat jalan Tol lurus malah buat jalan lingkar yang lingkarannya ada 10.

Kepolisian merupakan Lembaga sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana yang mempunyai kedudukan pertama dan utama. Namun jika Presiden terlalu dominan, maka premis yang terbangun dan terkoneksi antara Presiden-Polisi adalah premis politik. Sehingga muncullah diksi “Ganti pemain”, seperti yang kita dengar akhir-akhir ini. Karena pintu gerbang yang membawa perkara ke Pengadilan ialah Polisi melalui Penyidikan dan Penyelidikan sebelum dilimpahkan Jaksa Penuntut Umum. Menyambung apa yang dikatakan oleh Prof Mahfud MD dalam Podcast bersama Rhenald Kasali bahwasanya, “Presiden bisa menghendaki kasus yang ingin dibuka/diteruskan dan ditutup/diberhentikan”. Boleh dikata bahwa, tidak berjalannya fungsi pembagian kekuasaan saat ini karena masih terdapat celah dalam hukum untuk melakukan politisasi/kongkalikong

Harusnya Pengawasan yang dilakukan adalah menerima surat pemberitahuan dari orang yang memberikan kesempatan menginap Orang Asing untuk kemudian Polisi mengkroscheck dengan dasar telah berkoordinasi dengan kegiatan tersebut, sehingga dapat menilai berbahaya atau sebaliknya untuk melindungi dari ancaman terhadap keselamatan Orang Asing. Jelas ini memenuhi norma “Koordinasi dengan instansi terkait” dan tidak rumit. Dalam hal ini pihak Kepolisian juga tidak bertindak sewenang-wenang melebihi tugasnya. Sehingga Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang fungsi Kepolisian dapat terjamin dan dijalankan dengan baik.

Penerbitan Peraturan Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing boleh dikatakan berpotensi bertolakbelakang dengan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia karena tidak mencerminkan semangat demokrasi, dimana kebebasan berekspresi tidak dijunjung tinggi. Melihat situasi sekarang dimana adanya perluasan TNI masuk ke ruang sipil, seharusnya Polri tidak ikut memperbesar kewenangannya dengan membuat peraturan sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Perluasan TNI ditambah kewenangan Polri yang melebar justru mencerminkan semangat negara otoriter seperti salah satu negara yang ada di Asia Timur. Karena pola-pola yang digunakan sama, memakai kekuatan bersenjata untuk membatasi Masyarakat.

Author

Tagged with:
Demokrasi

Nafas kehidupan adalah tentang berbuat baik dan bermanfaat kepada sesama.

You might also like
Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Abangan Menurut Ricklefs

Abangan Menurut Ricklefs

Dunia Maya Raja Ampat

Dunia Maya Raja Ampat

Filsafat Kaum Rebahan

Filsafat Kaum Rebahan

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang