Ketika Barat Membentuk Timur

Ketika Barat Membentuk Timur
Buku The Making of Europe: Conquest, Colonization and Cultural Change, 950–1350 karya Robert Bartlett. (Foto: press.princeton.edu)

Judul: The Making of Europe: Conquest, Colonization and Cultural Change, 950–1350

Penulis: Robert Bartlett

Penerbit: Penguin Books (edisi pertama oleh Princeton University Press)

Tebal: Sekitar 432 halaman

Tahun Terbit: 1993 (edisi pertama, Princeton University Press); edisi Penguin sering tercatat tahun 1994


Scholariumlp3es.com

Robert Bartlett, sejarawan yang telah menelusuri lorong-lorong gelap abad pertengahan dari pengadilan api hingga biara terpencil, menyuguhkan dalam karya ini sebuah lanskap yang jauh lebih luas, sebuah bentang intelektual yang merentang dari lembah Elbe hingga padang-padang Iberia, dari ladang-ladang basah di Livonia hingga reruntuhan Byzantium yang diserbu tentara Latin.

Sebelum buku ini, ia telah menggali dunia pengadilan ilahi dalam Trial by Fire and Water (1986), memetakan hidup dan narasi kolonial dari tokoh Geraldus Cambrensis dalam Gerald of Wales, 1146–1223 (1982), dan bersama beberapa kolega menelusuri identitas perbatasan dalam Medieval Frontier Societies (1989).

Semua itu adalah penggalan, potongan wajah Eropa yang masih berserakan. Dalam The Making of Europe (1993), ia menggeser lensa dari mikro-historis menuju narasi yang lebih menyeluruh. Di sini, ia tidak sekadar menyusun kisah lokal, melainkan merancang suatu etnografi sejarah tentang bagaimana satu jaringan religius, politik, dan sosial menjalin dirinya ke dalam apa yang kini kita kenali sebagai Eropa. 

Buku ini menjadi semacam konstelasi gagasan yang lebih ambisius dibanding karya-karya sebelumnya, lebih mendalam ketimbang kajian per kasus, lebih luas daripada analisis struktural semata. Jika karya sesudahnya tampak lebih disipliner, bahkan lebih teknis dan institusional, maka buku ini tetap berdiri sebagai upaya monumental menelusuri akar pembentukan identitas Eropa dalam bentuknya yang paling mentah dan menakutkan: penaklukan, migrasi, dan transformasi budaya.

Ketika Barat Membentuk TimurInfografis Fufufafa Kartu Truf (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Fufufafa Kartu Truf (Foto: Instagram @scholariumco)

Ketika Latin Menjadi Standar

Apa yang dibangun di sini bukan sekadar kisah perluasan teritorial, tetapi rekonstruksi mendalam atas sebuah laku sejarah, bahwa Eropa –dalam rentang 950 hingga 1350– dibentuk bukan oleh harmoni, tetapi oleh dominasi yang disamarkan sebagai peradaban. Penaklukan tidak hadir sebagai kekerasan murni, melainkan sebagai mekanisme tertata, dibungkus dalam liturgi Latin, tata kota, hukum Romawi, dan administrasi gerejawi. 

Ini adalah kolonisasi dari dalam dan luar sekaligus: di timur, lewat migrasi dan pembaptisan pedang di kawasan Baltik dan Slavia; di selatan, melalui konversi bersenjata di Andalusia dan Sisilia; dan bahkan di jantungnya sendiri –Irlandia dan Wales– melalui pelabelan atas sesama Kristen sebagai “pagan sosial” karena berbeda dalam tata hidup. Pola ini terus muncul, sebuah dunia yang bergerak dari heterogenitas menuju homogenitas, dari lanskap yang cair menuju tata yang dibakukan. Dan semua itu diklaim atas nama iman, meski dalam praksisnya adalah soal kontrol atas ruang dan manusia.

Hegemonisasi budaya menjadi benang merah yang menautkan seluruh praktik ekspansi yang dibahas dalam buku ini. Tapi yang membuatnya istimewa bukan hanya skala geografisnya, melainkan cara kekuasaan itu dilembutkan (sublimasi) dalam bentuk-bentuk yang tampak netral, seperti liturgi, hukum, bahasa, dan tanah. 

Kota-kota baru dibangun bukan hanya sebagai pusat dagang, tetapi sebagai kantong peradaban Latin, lengkap dengan gereja batu, dewan kota, dan hukum charter yang menyingkirkan adat lokal ke pinggiran. Di tanah-tanah Slavia dan Baltik, proses ini tidak hanya terjadi lewat pemukiman para kolonis Jerman, tetapi juga lewat penanaman sistem agraria yang memaksa penduduk lokal masuk ke dalam logika baru kerja, waktu, dan disiplin. 

Bahasa Latin menjadi tolok ukur intelektualitas, sementara hukum Romawi diposisikan sebagai hukum yang “rasional”, menegasikan pluralitas hukum adat. Maka, Eropa yang “dibuat” bukanlah sebuah entitas yang tumbuh organik, melainkan satu proyek politik dan simbolik yang memaksakan kesatuan di atas keberagaman. Identitas “Latin”, yang mulanya hanyalah penanda liturgis, berubah menjadi penanda kultural, bahkan etnis, yang menentukan siapa yang masuk dalam masyarakat dan siapa yang harus dikonversi, disiplinkan, atau dihapuskan. Ini adalah momen ketika perbedaan bukan lagi dirayakan, tapi disusun dalam hirarki, dan diatur menurut logika pusat dan pinggiran.

Ketika Barat Membentuk TimurInfografis Fufufafa Kartu Truf (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Fufufafa Kartu Truf (Foto: Instagram @scholariumco)

Proyek Sunyi Penyeragaman Dunia

Proyek hegemonik ini tidak dijalankan semata oleh mahkota dan pedang, tetapi oleh mereka yang tampaknya jinak, biarawan, imam, pedagang, dan bangsawan diaspora. Para biarawan Cistercian yang membuka lahan di hutan-hutan Polandia atau lembah-lembah Hungaria bukan hanya membawa bajak dan salib, tetapi juga kalender kerja, struktur hukum agraria, dan arsitektur batu yang memancarkan rasa ketertiban baru. 

Para bangsawan Norman, seperti keluarga Joinville yang berpindah dari Champagne ke Irlandia, membawa serta hak waris, sistem feodal, dan budaya surat menyurat yang menggeser praktik lisan masyarakat lokal. Bahkan ordo pengkhotbah seperti Dominikan dan Fransiskan menjadi semacam vektor moral yang memformulasikan kesalehan dalam bentuk yang dapat diawasi, dicatat, dan diukur. 

Mereka mengubah iman menjadi dokumen, dosa menjadi perkara yuridis, dan perbedaan menjadi deviasi. Dengan cara inilah, dominasi tidak lagi tampak sebagai kekerasan, melainkan sebagai panggilan rohani, kemajuan sosial, atau penyebaran cahaya. 

Yang terjadi sebenarnya adalah internalisasi struktur kekuasaan, di mana yang ditaklukkan mulai mengadopsi logika penakluk, bukan karena paksaan semata, tetapi karena struktur makna di sekelilingnya telah bergeser. Inilah keberhasilan tertinggi dari hegemonisasi budaya: ketika kekuasaan tidak lagi perlu menjelaskan dirinya, karena ia telah menjadi bentuk nalar itu sendiri.

Di balik narasi kemajuan dan kesatuan yang dikandung oleh proyek ini, tersembunyi ketegangan mendalam antara pusat dan pinggiran, antara yang diklaim sebagai Eropa dan yang dijadikan bayangannya. 

Di mata logika kolonial Latin, tidak cukup seseorang menjadi Kristen; ia juga harus menjadi “Latin” dalam hukum, dalam adat, dalam aksen, bahkan dalam bentuk pernikahan dan pewarisan. Irlandia yang telah Kristen sejak abad kelima tetap dianggap “pagan dalam kebiasaan” karena tak mengadopsi sistem keuskupan dan struktur kerajaan ala Franka. 

Begitu pula dengan Wales, Skotlandia, dan tanah-tanah Slavia, yang terus-menerus diposisikan sebagai “yang belum selesai”, entitas liminal yang harus disempurnakan atau dikoreksi. Maka, pembentukan Eropa bukanlah inklusi menyeluruh, melainkan gerakan sentrifugal yang memusat di utara Perancis dan utara Italia, memproyeksikan dirinya ke luar sembari menata ulang yang di dalam. 

Pusat menghasilkan norma, dan norma menghasilkan hierarki. Semakin jauh dari pusat, semakin perlu sebuah wilayah dibentuk ulang, dijelaskan, atau bahkan direbut kembali, tidak selalu dengan senjata, tetapi dengan tata cara, kurikulum, dan bahasa. Yang tak mengikuti, dianggap cacat; yang mencoba bertahan, disebut liar. Dalam sistem ini, kesatuan bukanlah kondisi, melainkan proyek yang terus diperjuangkan dengan cara menghapus atau mengasimilasi yang berbeda.

Ketika Barat Membentuk TimurInfografis Fufufafa Kartu Truf (Foto: Instagram @scholariumco)
Infografis Fufufafa Kartu Truf (Foto: Instagram @scholariumco)

Nama dan Arah Diatur dari Barat

Membaca buku ini seperti menyaksikan fondasi perlahan dituang bagi sebuah bangunan yang kelak menjulang sebagai pusat tata dunia. Ia memperlihatkan bagaimana Eropa tidak semata “terbentuk” secara geografis, tetapi “membentuk dirinya” melalui proses pengorganisasian makna, institusi, dan relasi kuasa. 

Proyek kolonisasi internal yang dijelaskan Bartlett bukanlah akhir dari sejarah, melainkan prolog panjang menuju dominasi epistemik Eropa atas dunia. Ketika cara hidup Latin menjadi norma, ketika hukum Romawi menjadi model universal, dan ketika narasi sejarah disusun dari perspektif barat, maka tata dunia pun perlahan menyesuaikan orbitnya. 

Inilah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Edward Said dalam Orientalism (1978), di mana Timur bukan hanya ditaklukkan secara militer, tetapi diciptakan sebagai “yang lain” agar Barat dapat mendefinisikan dirinya sebagai pusat rasionalitas dan peradaban. Dalam konteks ini, proyek yang dibahas Bartlett bukan hanya proyek abad pertengahan, melainkan fondasi awal dari kolonialisme global dan hegemoni budaya yang menyebar hingga modernitas.

Dipadukan dengan analisis Immanuel Wallerstein dalam The Modern World-System (1974), kita dapat melihat bagaimana homogenisasi internal Eropa menjadi prasyarat bagi sistem dunia kapitalis yang menempatkan Eropa sebagai inti (core) dan wilayah lain sebagai pinggiran (periphery).

Apa yang pada abad ke-10 hingga ke-14 merupakan strategi perluasan kekuasaan dan penyeragaman budaya, pada abad-abad selanjutnya menjelma menjadi lensa tetap untuk melihat dunia: sebuah cara berpikir yang menempatkan Eropa di pusat segala hal, pengetahuan, sejarah, geografi, dan bahkan waktu. 

Kita menyebut Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara, bukan karena ia berada di tenggara Asia, melainkan karena ia berada di tenggara dari Eropa, sumbu diam-diam yang dijadikan acuan oleh peta-peta kolonial dan kategori-kategori akademik. Australia menjadi “down under”, bukan dari perspektif penduduknya, tetapi karena ia berada di bawah peta Europosentris. Nama-nama kawasan seperti “Timur Tengah”, “Far East”, “Asia Selatan”, dan “Asia Tenggara” lahir bukan dari pengetahuan lokal, melainkan dari jarak yang diukur dari London, Paris, dan Roma. 

Dalam arti ini, warisan hegemonik yang dijelaskan Bartlett menjadi lebih dari sekadar kisah abad pertengahan, ia adalah mekanisme awal pembentukan infrastruktur mental dunia modern. Konsep Eropa sebagai pusat tidak hanya diwariskan lewat kekuatan militer atau kolonialisme langsung, tetapi melalui penamaan, klasifikasi, dan sistem pendidikan yang menjadikan Eropa sebagai referensi diam-diam dari apa yang disebut “dunia”.

Seperti yang dikritik Dipesh Chakrabarty dalam Provincializing Europe (2000), modernitas global telah lama mengandaikan Eropa sebagai titik awal sejarah universal, dan daerah-daerah lain sebagai pengejar yang terlambat. Maka dari itu, warisan dari The Making of Europe tidak berhenti di abad pertengahan, tapi menelusup hingga ke cara kita hari ini memandang diri kita sendiri, dari mana kita berasal, ke mana kita bergerak, dan kepada siapa kita merasa harus menjawab.

Ketika Barat Membentuk TimurReels monolog Kat "Sadis" (Foto: Instagram @scholariumco)
Reels monolog Kat “Sadis” (Foto: Instagram @scholariumco)

Membayangkan Dunia dari Sini

Buku ini, dengan seluruh keluasan dan kedalamannya, memberikan kita kunci untuk memahami bagaimana dunia yang kita tempati kini disusun secara historis, bukan hanya lewat senjata dan kekuasaan, tetapi juga lewat bahasa, hukum, dan ingatan kolektif. Ia adalah karya yang kuat dan menyihir, tetapi pada saat yang sama, juga memperlihatkan bagaimana historiografi bisa tanpa sadar memperkuat pusat lama yang sudah mapan.

Meski mengungkap mekanisme hegemonisasi Eropa atas dirinya sendiri dan atas yang lain, narasi besar ini tetap menjadikan Eropa sebagai pusat perhatian: sebagai pelaku, penata, dan penentu. Yang lain hadir sebagai latar, sebagai wilayah yang “dibentuk”, bukan yang membentuk. 

Di sinilah ruang bagi kita untuk melanjutkan kerja Bartlett, bukan dengan menolaknya, tetapi dengan menggeser titik pandangnya. Jika Eropa bisa menjadi “dunia” melalui penaklukan dan sistem makna, maka tak ada alasan kawasan lain –termasuk Asia Tenggara– tidak bisa membentuk pusatnya sendiri: melalui ingatan yang dijahit dari pelabuhan-pelabuhan kuno, melalui narasi yang muncul dari sawah, hutan, dan pasar, dan melalui sejarah yang tidak ditulis dalam format eksklusi.

Buku ini bukan akhir, melainkan undangan: untuk tidak sekadar mengingat bagaimana Eropa membentuk dirinya, tapi juga untuk membayangkan bagaimana dunia bisa dibentuk kembali, dari tempat kita berpijak, dengan bahasa dan irama kita sendiri.


Polemik RDF Rorotan dan Sampah: Ini Kata Alumni Jepang dan Rusia! | KATA KUNCI LP3ES

Author

Pemimpin adalah yang menderita

You might also like
Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme: Sebuah Resensi

Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme: Sebuah Resensi

Surakarta dalam Pusaran yang Bergerak

Surakarta dalam Pusaran yang Bergerak

Technopoly, Cinta dan Ketakutan

Technopoly, Cinta dan Ketakutan

Prekariat Bukan Proletar

Prekariat Bukan Proletar

The Prince, Dikutuk Sekaligus Dikutip

The Prince, Dikutuk Sekaligus Dikutip

Hantu Baru Bernama Technofeodalisme

Hantu Baru Bernama Technofeodalisme