
Purbaya, dengan topi koboy dan lidah yang cepat, memainkan peran yang disukai penonton: jujur, keras, dan sederhana. Tapi politik bukan panggung film koboy. (red.)
Dalam beberapa bulan terakhir, sosok Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi sorotan publik. Dengan gestur yang nyentrik, gaya bicara blak-blakan, dan keberanian mengkritik siapa pun, ia menjelma sebagai figur baru yang mencuri perhatian di panggung politik Indonesia. Potongan-potongan videonya viral di media sosial, sementara arah kebijakannya yang kerap tak lazim segera menjadi bahan perbincangan para pengamat politik.
Di awal masa pelantikannya, Purbaya sempat dijuluki sebagai menteri “koboy” karena gaya komunikasinya yang spontan dan lugas. Ia bahkan sempat diragukan, hingga didemo agar segera dicopot dari jabatannya, setelah pernyataannya yang menyebut tuntutan 17+8 hanya mewakili sebagian suara rakyat kecil. Menyadari kekeliruannya, Purbaya kemudian menyampaikan permintaan maaf dan berjanji akan memperbaiki cara komunikasinya di hadapan publik.
Tak lama setelah itu, Purbaya kembali mengguncang publik melalui kebijakan penyaluran dana sebesar Rp200 triliun ke bank-bank Himbara untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi lewat penyaluran kredit. Ia juga berjanji tidak akan menaikkan cukai rokok serta berkomitmen memberantas peredaran rokok ilegal. Kritik tajamnya terhadap lembaga-lembaga besar seperti BGN dan Pertamina, yang dinilainya lamban dan tidak mampu memaksimalkan anggaran, turut menjadi sorotan. Bahkan, videonya saat makan di kantin kementerian sempat viral dan dianggap sebagai simbol kesederhanaan.
Melalui serangkaian tindakannya itu, sosok Purbaya perlahan dipandang sebagai pejabat yang memahami keresahan rakyat. Dari yang semula diragukan, kini banyak masyarakat mulai menaruh harapan padanya. Gaya koboinya yang dulu dianggap bermasalah justru mulai dimaklumi, bahkan menuai dukungan, terutama ketika ia melontarkan kritik terhadap pejabat lain. Di mata sebagian publik, Purbaya tampil sebagai pejabat yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Namun di balik penampilan heroiknya, muncul pertanyaan: apakah tindakan semacam itu benar-benar lahir dari moral kepedulian, atau sekadar pertunjukan teatrikal untuk memikat hati rakyat?

Fenomena seperti Purbaya sebenarnya bukan hal baru dalam politik Indonesia. Kita sudah berkali-kali menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh politik membangun citra sebagai sosok sederhana, berani, dan apa adanya, sebuah persona yang mudah mendapat tempat di hati rakyat. Sebut saja Jokowi, yang menampilkan diri sebagai “pemimpin dari rakyat biasa”, atau Dedi Mulyadi dengan citra “Bapak Aing” yang dekat dengan masyarakatnya.
Begitu pula Purbaya, hadir pada momen yang tepat, di tengah krisis kepercayaan rakyat terhadap pejabat yang nir empati. Saat banyak pejabat gemar memamerkan kemewahan, Purbaya justru menampilkan kesederhanaan. Ketika pejabat lain mencemooh dan menyalahkan rakyat, ia tampil mengkritik sesama pejabat. Fenomena ini menggambarkan apa yang disebut Ernesto Laclau dalam On Populist Reason (2005) sebagai mekanisme dasar populisme: ketika masyarakat dikonstruksi menjadi dua kubu, antara “rakyat biasa” dan “elit penguasa.” Dalam konteks ini, Purbaya tampak berupaya memosisikan dirinya sebagai pejabat yang mewakili “rakyat biasa” melawan para pejabat “elit penguasa.”
Konstruksi ini semakin jelas ketika Purbaya melontarkan ucapan “Firaun lu..” saat menanggapi tingginya cukai rokok, atau ketika ia menyebut Pertamina “malas-malasan” dalam membangun kilang minyak baru. Dalam momen-momen seperti itu, ia tidak hanya berbicara spontan, tetapi sedang memainkan sebuah drama moral, antara “yang sederhana” melawan “yang rakus”, antara “yang bekerja” dan “yang malas”. Pihak-pihak antagonis ini diciptakan olehnya untuk memperkuat citra populis sebagai wakil sejati rakyat. Tak heran, konfrontasinya kemudian melahirkan tagline yang viral: Purbaya vs Everybody.

Benjamin Moffitt dalam bukunya The Global Rise of Populism (2016) menjelaskan bahwa populisme bukan semata ideologi atau gerakan politik, melainkan sebuah gaya politik, cara menampilkan diri dan berbicara kepada publik. Ia menguraikan tiga elemen utama dalam gaya populisme, yaitu appeal to the people (berbicara atas nama rakyat), bad manners (gaya bicara atau perilaku blak-blakan yang dimaksudkan untuk menunjukkan keaslian), dan performance of crisis (menonjolkan, bahkan menciptakan krisis agar tetap terlihat relevan).
Dalam fenomena Purbaya, ketiga elemen gaya populisme tersebut tampak jelas. Pertama, appeal to the people, ia secara konsisten memosisikan dirinya sebagai pembela rakyat, berbicara dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami, seolah merepresentasikan suara keseharian masyarakat. Kedua, bad manners terlihat dari gaya komunikasinya yang kasar, spontan, dan sering kali menabrak etiket politik formal; ciri ini sudah tampak sejak awal pelantikannya. Ketiga, performance of crisis, Purbaya tidak hanya bereaksi terhadap krisis ekonomi atau sosial, tetapi juga aktif menampilkan bahwa sistem birokrasi kita buruk, lembaga publik tidak efisien, dan banyak pejabat malas bekerja. Dengan cara itu, ia membangun kesan bahwa negara sedang tidak baik-baik saja, dan hanya sosok seperti dirinya yang mampu menyelamatkannya.
Begitupun dengan identitas “koboy” yang dilekatkan padanya, menjadi simbol yang kuat dalam membangun narasi kepahlawanan dan keberanian. Dalam budaya populer, figur “koboy” kerap diasosiasikan dengan sosok pahlawan yang menegakkan keadilan tanpa kompromi. Dengan mengadopsi identitas tersebut, Purbaya menegaskan posisinya sebagai penyelamat rakyat—melalui agenda perbaikan ekonomi—sekaligus menantang tatanan lama dengan gaya yang lugas dan tanpa basa-basi. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Moffitt, gaya seperti ini bukan lahir dari moralitas kepedulian yang murni, melainkan merupakan konstruksi yang sadar—sebuah strategi politik untuk membangun kedekatan emosional dengan rakyat.

Meski begitu, bahaya utama populisme tidak hanya terletak pada retorika emosionalnya, tetapi juga pada produksi krisis yang terus-menerus. Seperti diingatkan Moffitt, populisme membutuhkan krisis untuk bertahan. Tanpa adanya krisis, baik yang nyata maupun yang diciptakan, sosok populis akan kehilangan relevansi dan daya tariknya. Karena itu, politik populisme cenderung memelihara suasana tegang di tengah masyarakat, di mana emosi lebih diutamakan daripada nalar rasional.
Masalahnya, krisis yang terus dipentaskan dapat berujung pada bentuk otoritarianisme terselubung. Ketika pemimpin populis memonopoli klaim moral atas nama “rakyat sejati”, setiap kritik mudah dilabeli sebagai suara “elit”, “penjaga status quo”, atau bahkan “musuh rakyat”. Pada titik ini, gaya “koboy” yang semula dianggap jujur dan berani dapat berubah menjadi legitimasi untuk bertindak tanpa akuntabilitas. Semakin pemimpin populis merasa memiliki mandat langsung dari rakyat, semakin besar pula kecenderungannya mengabaikan mekanisme institusional yang seharusnya menjadi pembatas kekuasaan.

Fenomena Purbaya memperlihatkan bagaimana populisme bekerja di panggung politik Indonesia, melalui gaya komunikasi maupun penampilan yang menegaskan kedekatan dengan rakyat. Namun, seperti koboy dalam film-film, pesonanya bisa menipu. Di balik keberanian dan spontanitas yang tampak alami, tersimpan kalkulasi yang cermat untuk meraih simpati sekaligus membangun legitimasi.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai penampilan para pemimpin populis. Keberanian berbicara dan kesederhanaan gaya hidup memang penting, tetapi tidak boleh menggeser peran rasionalitas kebijakan dan akuntabilitas publik. Tanpa literasi politik yang memadai, populisme mudah berubah menjadi politik sensasional yang dangkal—menawarkan harapan sesaat tanpa solusi yang nyata. Sebab, kebijakan yang baik tidak lahir dari tembakan cepat seorang koboy, melainkan dari refleksi akal sehat.