Sampah dan Bau Busuk Ekofasisme

Sampah dan Bau Busuk Ekofasisme
Proses pembersihan bunker Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan (Dok DLH Jakarta)

Bau busuk bukan hanya datang dari sampah, tapi dari cara kekuasaan mengatur siapa yang harus menghirupnya. Di balik jargon teknologi hijau, ekofasisme menyelinap diam-diam, tapi menindas.


scholariumlp3es.com

Sebelum dunia modern mengenal Procession of the Species –sebuah parade ekologi yang dirayakan di Washington– sebagai bentuk penghormatan terhadap keanekaragaman hayati melalui seni komunitas, kisah Nabi Sulaiman dalam tradisi Abrahamik telah lebih dulu menyampaikan narasi ekologis yang luar biasa. Dalam kisah Nabi Sulaiman, ia bukan hanya seorang nabi atau raja. Ia adalah pemimpin yang bisa berbicara dengan semut, bercakap dengan burung, memahami kehendak angin, dan bersinergi dengan jin.

Kisah ini bukan sekadar narasi profetik, melainkan simbol dari kesadaran ekologis purba, bahwa manusia bukan satu-satunya subjek yang bermakna di alam raya. Sebaliknya, manusia hanyalah bagian dari jejaring kehidupan, tempat makhluk hidup lain punya suara, punya kehendak, dan punya hak untuk didengar.

Narasi semacam ini adalah bentuk awal dari eco-dialogue, sebuah kesadaran bahwa relasi manusia dengan lingkungan bukan dominasi satu arah, melainkan komunikasi dua arah. Tapi sayangnya, dalam dunia modern yang dibentuk oleh birokrasi dan teknologi, kesadaran ini justru sirna. Yang tersisa adalah kesunyian ekologis, di mana makhluk non-manusia hanya dianggap obyek, bukan subyek.

Dan di sinilah kita berada, di Jakarta, tempat tinggal lebih dari 10 juta manusia, di mana dialog dengan alam tak lagi filosofis. Ia menjadi praktik sehari-hari yang penuh bau, tertunda, dan sering kali konfliktual.

Sampah dan Kekuasaan yang Tak Ramah

Di tengah krisis TPA yang makin parah, Pemerintah Provinsi Jakarta mendorong teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF), yakni proses mengubah sampah kota menjadi bahan bakar alternatif. RDF Rorotan adalah proyek andalan di Jakarta Utara, dibungkus dalam narasi modernisasi dan efisiensi lingkungan. Tapi alih-alih menyambut, warga sekitar justru membentangkan spanduk penolakan. Ketakutan akan pencemaran, dampak sosial, dan keterasingan dari proses pengambilan keputusan melahirkan keresahan yang nyata.

Bagi pemerintah, RDF adalah solusi teknokratis. Tapi bagi warga, RDF adalah bentuk kekuasaan yang tidak mengajak bicara. Inilah paradoks ekologis kota modern: ketika masalah lingkungan dianggap persoalan teknis semata, maka proses politik yang menyertainya dianggap penghalang. Padahal, sebagaimana ditekankan oleh Bruno Latour, alam tidak pernah netral. Alam adalah aktor politik yang terlibat dalam konflik, dalam negosiasi, dan dalam produksi makna.

Bruno Latour dalam karyanya We Have Never Been Modern dan pengembangan Actor-Network Theory (ANT), mengajukan kritik radikal terhadap cara berpikir modern yang memisahkan antara manusia (sebagai subyek) dan alam/benda (sebagai obyek). Menurut Latour, dunia sosial tidak hanya terdiri dari manusia, tetapi juga jaringan yang melibatkan non-manusia, semisal sungai, udara, teknologi, mikroba, bahkan sampah.

Dengan pendekatan ANT, RDF Rorotan bisa dilihat sebagai ruang konflik bukan hanya antara pemerintah dan warga, tetapi antara manusia dan aktor-aktor ekologis yang sering kali dibisukan. Bau sampah, racun yang tersebar di udara, kualitas air yang menurun, semuanya berbicara, meskipun tidak melalui bahasa manusia.

Sampah, dalam perspektif Latourian, adalah entitas politik. Ia memediasi relasi kekuasaan antara pemerintah kota, warga, dan sistem teknologi. Ketika pengelolaan sampah hanya dilihat sebagai urusan logistik, maka jaringan politik yang menyertainya menjadi tak kasat mata. Padahal konflik sosial sering kali lahir bukan dari isi proyek, tapi dari cara ia dihadirkan: sepihak, tertutup, dan tidak mendengar.

Sampah, Selalu Jadi Masalah? (Instagram @scholariumco)

Jalan Menuju Ekofasisme?

Proyek-proyek seperti RDF Rorotan sering kali diklaim sebagai “masa depan pengelolaan sampah” namun tanpa kerangka partisipasi warga, ia justru menyuburkan ketidakpercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi lingkungan tanpa demokratisasi justru menjauhkan publik dari rasa kepemilikan terhadap ekosistemnya.

Kritik ini sejalan dengan peringatan dari para ekolog radikal bahwa teknokratisasi masalah ekologis bisa menjadi jalan menuju eko-otoritarianisme, sebuah situasi di mana negara memaksakan kebijakan lingkungan dengan cara-cara represif dan tidak partisipatif, atas nama menyelamatkan planet.

Ini juga menunjukkan betapa pentingnya memperluas konsep suara dalam politik lingkungan. Warga pinggiran seperti di Rorotan bukan hanya “penerima dampak”. Mereka adalah bagian dari ekosistem itu sendiri, sehingga tak bisa dipisahkan dari setiap perencanaan dan pelaksanaan solusi.

Jika kita tarik pembahasan ini lebih luas, maka istilah eco-dialogue ini tentu gagal terwujud, bukan karena manusia tak punya kemampuan berdialog dengan alam –seperti yang diwariskan dalam imajinasi kenabian Sulaiman– melainkan karena negara tak pernah benar-benar membuka ruang untuk itu. Di balik jargon “pembangunan berkelanjutan,” negara masih tunduk pada paradigma kapitalistik yang melihat lingkungan sebagai komoditas, bukan sebagai mitra hidup.

Logika ini menempatkan alam dalam posisi pasif, sesuatu yang harus ditambang, ditundukkan, dan diekstraksi demi pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah penguasaan ruang oleh segelintir elite, bukan hanya dalam makna politik, tapi juga dalam makna ekologis.

Undang-undang Cipta Kerja adalah contoh nyata, aturan ini membuka jalan bagi penjualan cepat dan murah atas kekayaan ekologis tanpa proses partisipasi yang bermakna. Makna “pembangunan” dikunci dalam kerangka hilirisasi ekonomi, namun hilirisasi sosial, yakni dampak baik bagi kesejahteraan rakyat, nyaris tak terjadi. Papua, Kalimantan, dan Maluku Utara telah puluhan tahun dieksploitasi, tapi kemiskinan tetap mengakar. Stunting, rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia), dan ketimpangan terus menghantui kawasan yang justru kaya akan sumber daya alam.

Sejak era Soekarno, ada harapan akan lahirnya perlawanan terhadap kapitalisme sumber daya, misalnya lewat Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960. Tapi harapan itu kandas. Tanah yang dikuasai negara tidak dikembalikan kepada rakyat, dan di era Orde Baru, relasi antara manusia dan alam justru diputuskan secara sistematis. Lingkungan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari kehidupan manusia, melainkan sebagai objek pembangunan yang steril dari nilai dan sejarah.

Dan kini, situasi itu bukannya membaik, melainkan memburuk. Negara menutup telinga terhadap suara masyarakat, sementara para aktor yang seharusnya menjembatani dialog antara akademisi, NGO, kelompok masyarakat sipil, justru kehilangan tempat dalam proses pengambilan kebijakan.

Yang dominan hanyalah satu suara, suara pertumbuhan ekonomi. Paradigma ini tak memberi ruang bagi kesalingan, hanya mengabarkan rencana, tanpa mengizinkan perbincangan. Maka jangan heran jika masyarakat hanya mewarisi dampaknya, yaitu banjir, longsor, krisis pangan, dan derita ekologis yang semakin merajalela.

Kita ini negeri yang kaya, tapi rakyatnya miskin. Ini bukan hanya ironi statistik, melainkan kegagalan struktural yang telah diwariskan dari rezim ke rezim. Kekayaan sumber daya alam tidak pernah benar-benar dikelola untuk kemaslahatan umum, tetapi selalu jatuh dalam logika ekstraktif yang timpang dan eksklusif.

Al-Qur’an pernah menyampaikan peringatan tajam yang relevan dengan kondisi ini:

“Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu, lalu mereka berbuat fasik di dalamnya; maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman Kami), lalu Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al-Isra’: 16)

Ayat ini tidak sekadar bicara soal azab sebagai hukuman spiritual, melainkan sebagai konsekuensi sosial dari struktur kekuasaan yang timpang. Ketika elite kekuasaan hidup dalam kemewahan yang ditopang oleh kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial, maka kehancuran bukan datang dari langit, tetapi tumbuh dari bawah, dari kemiskinan yang dibiarkan, dari ruang hidup yang dirampas, dan dari suara rakyat yang dibungkam.

Fasik dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai pemutusan hubungan antara manusia dan amanahnya terhadap bumi, sebuah pengkhianatan ekologis. Ketika negara gagal menciptakan sistem yang adil antara manusia dan lingkungannya, maka kehancuran sosial adalah keniscayaan.

Inilah yang terjadi hari ini. Pembangunan tanpa partisipasi adalah pembangunan yang fasik. Kebijakan yang memisahkan manusia dari alam adalah bentuk nyata dari kemewahan yang menyisakan derita. Maka jika dialog antara manusia dan alam terus ditutup, jangan heran jika alam tak lagi memberi isyarat, melainkan peringatan.

Sampah, Selalu Jadi Masalah? (Instagram @scholariumco)

Membangun Kembali Eco-Dialogue

Bagaimana seharusnya kita membangun eco-dialogue hari ini? Pertama, dengan mengakui bahwa setiap kebijakan ekologis bukan hanya soal teknis, tapi juga soal siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan. Dialog ekologis bukan hanya dengan alam sebagai simbol, tapi dengan warga yang hidup bersamanya.

Kedua, dengan memperlakukan aktor-aktor non-manusia sebagai bagian dari sistem sosial-politik. Air, udara, tanah, dan sampah memiliki efek nyata terhadap kehidupan warga. Ketika kualitas air buruk, tubuh warga pun terdampak. Ketika udara tercemar, anak-anak sesak napas. Maka teknologi pengolahan lingkungan harus tunduk pada logika hak asasi dan keadilan spasial.

Ketiga, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa proyek seperti RDF hanya bisa berhasil jika dibangun bersama warga, bukan di atas ketakutan mereka. Di sinilah pentingnya partisipasi sejati, bukan hanya dalam bentuk sosialisasi, tetapi dalam desain, pengambilan keputusan, dan pengawasan.

Well, Jakarta bukan hanya kota, tapi medan tafsir ekologis. Di balik sampah yang bau, tersembunyi persoalan relasi kuasa: antara negara, warga, dan alam. Di situlah sebenarnya letak demokrasi lingkungan yang sejati: bukan pada seberapa canggih teknologi yang digunakan, tapi seberapa banyak suara yang didengar.

Kita perlu menempuh jalan seperti Nabi Sulaiman, bukan karena kita ingin mendengar semut secara harfiah, tapi karena kita rindu pada dunia di mana suara makhluk lemah tetap punya tempat. Dan dalam dunia hari ini, makhluk lemah itu bisa berupa warga miskin kota, atau bisa juga berupa tumpukan sampah yang selama ini dibungkam.

Ketika kita memulai ulang dialog antara kota dan alam, antara teknologi dan warga, maka mungkin –hanya mungkin– kita bisa membangun kota yang bukan hanya bersih secara fisik, tapi juga adil secara ekologis.


Sekolah Rakyat: Bencana Pendidikan Kita? | KATA KUNCI LP3ES

Author

Pemimpin adalah yang menderita

You might also like
Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Clipper, Mengganti atau Melengkapi Kerja Buzzer?

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Membaca Iran–Israel Melampaui Senjata

Abangan Menurut Ricklefs

Abangan Menurut Ricklefs

Dunia Maya Raja Ampat

Dunia Maya Raja Ampat

Filsafat Kaum Rebahan

Filsafat Kaum Rebahan

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang

Joko Kaha: Tanah Sakral vs Logika Tambang