Sampah adalah tafsir paling jujur dari kemanusiaan kita. Ia tak bisa didaur ulang jika keserakahan tetap kita anggap ibadah. (red.)
Biasanya kita peduli sampah maksimum sampai jarak 20 meter, dari dalam rumah hingga tempat sampah di samping rumah. Kemudian, sekantong sampah yang kita tenteng dengan perasaan sepele itu, akhirnya sampai di tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah di sana, ternyata bisa berubah menjadi sebab bencana.
Itulah yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung, 21 Februar 2005, seperti diingatkan Erfan Maryono dalam FB-nya, seorang ahli lingkungan dan anggota Dewan Pengurus LP3ES. Peristiwa itu mengakibatkan korban jiwa 157 orang dan dua pemukiman penduduk hilang tertimbun gunung sampah. Dari peristiwa itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Kita memang sering abai terhadap hal-hal sepele, sebab toh hanya sampah. Namun sikap kita terhadap sampah sesungguhnya menunjukkan tingkat perkembangan moralitas dan spiritualitas kita. Dalam Al-Qur’an memang tidak ada satu ayat pun yang spesifik mengenai sampah. Bagi Allah tidak ada sampah, sebab pada setiap ciptaan-Nya, dari benda mati seperti batu, tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga manusia, dengan segala keanekaragaman dan derivasinya, di sana melekat sifat Allah. Allah menciptakan alam semesta adalah sebagai jumlah keseluruhan ayat-ayat-Nya.
Sampah adalah akibat, bukan sebab, dan Al-Qur’an justru menyoroti pada sisi sebab. Selain kedudukan “sebab” adalah akar, Al-Qur’an lebih jauh menjangkau aspek yang lebih mendasar: Bahwa “sebab” adalah bersifat kompleks, sehingga ia memerlukan perhatian dan tindakan-tindakan yang lebih komprehensif. Sementara sampah adalah “akibat” dan bersifat tunggal, sehingga penanganannya tidak akan maksimal tanpa mengoreksi sebabnya.
Begitulah Allah mengingatkan kita dalam QS Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” Ayat ini memang dapat dipahami dalam banyak pengertian. Namun, dalam konteks ini, ayat itu adalah peringatan karena sampah telah nyata menimbulkan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang mengancam spesies-spesies ciptaan-Nya.
Dari ayat itu kita juga memperoleh makna yang menegaskan bahwa sampah adalah murni produk manusia. Ia wujud dari sikap dan pandangan manusia tentang “nilai guna”. Manusia adalah makhluk utilitarian, mereka bertindak sebatas mengenai apa yang menurut keyakinannya berguna: bahwa karena benda itu nilai gunanya sudah habis, maka patut dibuang.
Prinsip utility (kegunaan) seperti itu secara logis berhubungan dengan kesadaran dan dapat memberi kriteria moral yang tumbuh mengikuti perkembangan spiritualnya, yang mengajarkan tentang makna hal-hal kebendaan dan tentang “weltanschauung” (pandangan dunia). Dari sinilah kriteria “berguna” itu ditentukan, dan terus tumbuh mengikuti perkembangan peradabannya
Setiap peradaban memandang sampah, dan sampai batas mana suatu benda disebut sampah, tergantung pada prinsip utilitynya dan kriteria yang ditetapkan. Pada masyarakat yang berperadaban ilmiah, berbeda dengan mereka yang berperadaban populer, apalagi terhadap masyarakat primitif. Ember plastik yang robek misalnya, akan mendapat perlakuan berbeda ketika di tangan orang yang berperadaban populer; ember itu akan dibuang begitu saja sebab sudah tidak berguna.
Lain halnya jika di tangan ilmuwan, ember itu aka mereka himpun karena mereka tahu plastik adalah bahan baku penting untuk diolah. Pandangan terakhir ini ekuivalen dengan pandangan ilahiyah, bahwa “Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang di antaranya tanpa hikmah” (Q.S. Shad, 27). “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada Kami-lah khasanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu” (Q.S. Al-Hijr, 21). Jadi, tidak ada yang sia-sia, utility atau nilai guna sebuah benda tidak akan pernah habis, semaksimal apapun anda eksploitasi. Jadi, tidak ada sampah.
Sementara karakter peradaban populer dimana sekarang kita hidup, adalah percampuran pragmatisme dan hedonisme. Percampuran ini merangsang tumbuhnya dan makin liarnya “nafsu”, yang menghasilkan sikap hidup sebagai petualang kenikmatan. Kita sesungguhnya dalam keadaan tidak sadar sedang berenang dalam moral utilitarianisme itu, yang memandang kesenangan sebagai satu-satunya hal yang patut terhasrati (desirable). Moral demikian membuat kita makin rakus, sehingga jumlah dan keragaman apa yang kita konsumsi pun mengalami peningkatan luar biasa, apalagi yang bersifat sekunder, tumbuh hampir tanpa batas. Inilah mengapa pada era ini volume sampah mengalami peningkatan fantastis, baik sampah rumah tangga maupun industri.
Nafsu sebagai daya dorong, sesungguhnya tidak selalu berkonotasi negatif dan menghasilkan bergunung-gunung sampah.Tetapi, apa yang mendorong peningkatan konsumsi adalah kehendak yang memicu daya khayal tentang kenikmatan hedonis, yang sepadan dengan “nafsu lawwamah“.
Sekiranya kita mampu mengoperasikan kekuatan nafsu pada kualitas positifnya, setidaknya pada level “mulhamah”, maka, sebaliknya, nafsu akan menjadi daya dorong kehidupan yang lebih cerdas dan sehat. Kita akan menjadi lebih selektif dalam konsumsi, sehingga volume sampah lebih terkendali. Kita juga akan menjadi lebih sehat karena konsumsi yang tidak berlebihan dan selektif dapat mencegah kemungkinan terserang penyakit. Tubuh memiliki ukuran dan batas kebutuhan nutrisinya; yang berlebih menjadi sampah dalam tubuh dan menyebabkan penyakit.
Karena itu Rasulullah mengajarkan “berhentilah makan sebelum kenyang”, dan “jangan pula bermegah-megahan”. Tampaknya hanya dengan sikap hidup seperti ini moralitas tamak dari peradaban populer bisa kita kurangi dan sampah menjadi lebih terkendali. Krisis ekologi maupun sosial di zaman modern ini, adalah tanda bahwa tugas kekhalifahan manusia untuk menjaga alam dan kehidupan telah disalahgunakan.